A. KONSEPSI NEGARA
Suksesi adalah pergantian mengenai tanggungjawab Negara atas perubahan-perubahan yang terjadi, baik perubahan pada pemerintahan maupun perubahan pada wilayah suatu Negara termasuk kedaulatannya.
Pergantian Negara dengan istilah “state succession” mendapat kecaman dari ahli-ahli hukum Anglo Saxon, karena istilah ini mengandung arti “Indo Saxonization”. Selain itu, istilah “state succession” menunjuk pada hukum waris perdata yang dipergunakan dalam hukum internasional public. Dalam hal ini J.G.Starke berpendapat:
“in this connection the term “state succession” is a misnomer as it presuppose that’s the analogues of private law, where dwath or bankruptycy etc, right and obligations pass from extent or incapable as between state. The truth however, is that true, no complete juridical substitution of one state for the old state which has lost ofr altered its identify.”
(dalam hubungan ini istilah “pergantian Negara” adalah istilah yang salah karena istilah itu menganalogkan hukum perdata, dimana kematian atau kebangkrutan, hak dan kewajiban yang lalu diperluas atau individu-individu yang tidak cakap digantikan individu lain, diterapkan pada Negara. Mengingat kebenaran tidak dikenal prinsipnya dalam hukum internasional tentang pergantian antar Negara. Tidak ada pergantian hukum yang sempurna dari satu Negara lama yang sudah kehilangan atau berubah identitasnya).
Menurut Mervyn Jones, pengertian pergantian Negara dapat dibagi menjadi dua yaitu:
(1). Pergantian Yuridis,
(2). Pergantian Kenyataannya.
Menurut kenyataannya, pergantian Negara terjadi karena dua atau beberapa Negara bergabung menjadi suatu federasi, konfederasi, atau Negara kesatuan, bisa juga karena cessie, aneksasi, emansipasi, dan dekolonisasi.
Pengaturan masalah suksesi Negara dalam hukum internasional masih berdasarkan kebiasaan internasional yang tumbuh dan berkembang melalui siding-sidang atau konferensi-konferensi internasional yang dilakukan oleh International Commission Law seperti Session 1962 dan Session 1972 yang mencoba menyusun draft perjanjian internasional tentang Negara baru.
Suksesi Negara terjadi apabila suatu Negara berhasil melepaskan diri dari penjajahan atau dari Negara induk atau persemakmuran atau perwalian seperti Indonesia yang melepaskan diri (secede) dari penjajah Belanda.
B. SUKSESI ATAS HAK DAN KEWAJIBAN PERJANJIAN
Dalam keputusan Internasional ada dua faham yang membahas masalah hak dan kewajiban suatu Negara atau pemerintahan baru atas perjanjian internasional yang dibuat oleh Negara atau pemerintahan terdahulu:
1. Res Inter Alios
Faham ini berpendapat, bahwa Negara atau pemerintahan baru tetap tunduk terhadap hak dan kewajiban internasional, apabila pemerintahan atau Negara terdahulu membuat suatu perjanjian dengan Negara lain.
2. Rebus Sic Stantibus
Faham ini berpendapat, Negara atau pemerintahan baru tidak memiliki kewajiban sama sekali untuk meneruskan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh Negara atau pemerintahan terdahulu.
Pertentangan kedua faham ini menunjukan bahwa belum ada suatu kesepakatan multilateral yang bersifat Law Making Treaty mengenai persoalan hak dan kewajiban atas perjanjian internasional terdahulu.
Negara-negara baru dalam praktek hubungan antar Negara jarang sekali meneruskan perjanjian-perjanjian yang bersifat politik yang dibuat oleh Negara-negara terdahulu (mother state) terutama perjanjian persekutuan, kerjasama dan persahabatan serta perjanjian netralitas.
C. SUKSESI KEANGGOTAAN ORGANISASI INTERNASIONAL
Secara hukum, tidak ada kewajiban yang mengikat secara hukum (legal binding), bahwa suatu Negara baru secara otomatis tetap menjadi anggota organisasi, meskipun Negara induknya sebagai anggota, kecuali Negara baru yang bersangkutan secara tegas menyatakan tetap ikut atau terikat sebagai anggota suatu organisasi internasional.
D. SUKSESI TERHADAP PERJANJIAN KEUANGAN (PINJAMAN)
Negara atau pemerintahan baru tetap mempunyai kewajiban atas utang-utang luar negeri yang dibuat oleh Negara induk. Hukum internasional dalam perjanjian-perjanjian internasional belum secara tegas mengatur kewajiban ini, tetapi praktek hubungan antar Negara menunjukan adanya tendensi, bahwa Negara baru tetap terikat pada hutang-hutang luar negeri.
Sepanjang pergantian pemerintah dalam suatu Negara berjalan secara konstitusional, maka tidak ada persoalan yang perlu didebatkan. Semua hak dan kewajiban pemerintahan lama beralih menjadi tanggungjawab pemerintahan yang baru, meskipun terdapat perbedaan garis politik antara pemerintahan lama dengan pemerintahan baru.
Pergantian pemerintahan baru akan menimbulkan berbagai persoalan, baik politik maupun hukum, apabila pergantian pemerintahan tersebut terjadi dengan cara-cara inkonstitusional, misalnya melalui perebutan kekuasaan atau coup d’etat.
0 komentar:
Post a Comment