Berdasarkan kajian yuridis-historis, perkembangan hukum internasional yang sebagian besar berasal dari Eropa Barat (baca: Yunani dan Romawi) adalah suatu system hukum masyarakat bangsa-bangsa yang konsep, kaedah dan prinsip-prinsip hukumnya berasal dari kaedah-kaedah hukum nasional Romawi yang tumbuh dan berkembang melalui kebiasaan-kebiasaan internasional (international customary).
Berbagai konsep hukum nasional yang mempunyai nilai-nilai universal dan dapat diterima masyarakat internasional sebagai suatu prinsip atau kaedah hukum, antara lain masalah hukum diplomatic, hukum perang (humaniter), hukum perjanjian internasional, servituut, pacta sunservanda dan konsep hukum Negara kepulauan (Archipelagic state)
Peran hukum nasional sangat besar dalam membesarkan dan memperkenalkan konsep, pranata atau prinsip-prinsip Hukum Internasional sebagai suatu sumbangan pemikiran kerangka pengembangan Hukum Internasional. Secara teoretis, persoalan yang masih sering timbul berkenaan dengan “tempat masing-masing hukum” dalam kerangka hubungan hukum internasional dengan hukum nasional, sehingga secara praktismasih, bahkan sering menimbulkan berbagai persoalan antara lain:
“The question of the relationship between international law can give rise to many practical problems, especially if there is a conflict between international law and munipal law”
(masalah hubungan hukum internasional dapat meningkatkan atau menimbulkan persoalan dalam praktek, khususnya jika ada konflik antara hukum internasional dengan hukum nasional).
Untuk mengkaji bagaimana hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, pembahasan secara teoretis perlu dikembangkan dan mengemukakan aliran-aliran hukum yang mempersoalkannya.
1. Monisme
Faham monism berpendapat, bahwa antara hukum internasional dengan hukum nasional merupakan satu kesatuan system hukum yang tak terpisahkan secara bulat dan utuh. Pendapat monis didukung oleh pernyataan:
“international law and municipal law are both species of one genus-law. Law is command whether it is the case of international law or municipal law”
(Hukum internasional dan hukum nasional kedua-duanya adalah dua spesies dari satu genus. Hukum adalah perintah, baik di dalam hukum internasional maupun di dalam hukum nasional).
Pendapat lain menyatakan:
“Kelsen has developed monist principle on the basis of formal method of analysis depedent on a theory of knowledge. According to the bases of Kelsen’s thought, monism is scientifically established if international and municipal law are part of the same system of norm receiving their validity and content by an intellectual operation form a basic norm”
(Kelsen telah mengembangkan prinsip-prinsip monisme tentang dasar formal metode analisis depeden mengenai dasar ilmu pengetahuan. Berdasarkan pemikiran Kelsen, monism secara ilmiah terbentuk baik di dalam hukum internasional ataupun dalam hukum nasional)
Pendapat kaum monisme bertitik tolak dari konsep hukum kekuasaan atau perintah, baik hukum internasional maupun hukum nasional tidak ada persoalan, karena keduanya berdiri diatas konsep hukum yang tidak membedakan antara keduanya. Alasan lain adalah, antara hukum internasional dengan hukum nasional mempunyai suubjek dan sumber hukum yang sama, yaitu individu dan kemauan Negara (state-will).
Pendapat kaum ini dipengaruhi oleh konsep hukum (natural law) yang hanya mengakui “individu” sebagai subjek hukum. Negara memperoleh kekuasaan karena adanya penyerahan kekuasaan dan kedaulatan dari individu-individu berdasarkan perjanjian (social contract theory). Negara adalah kumpulan individu-individu yang terorganisir dalam satu kesatuan organisasi yang mempunyai wilayah dan kedaulatan.
2. Dualisme
Berbeda dengan kaum monis, kaum dualism menganggap hukum internasional dengan hukum nasional merupakan dua perangkat hukum yang berbeda. Perbedaannya terletak pada subjek dan sumber hukum, termasuk berbeda dalam konsep. Hukum internasional adalah system hukum yang mengatur hubungan Negara-negara berdaulat, sedangkan hukum nasional adalah perangkat hukum yang mengatur hubungan individu.
“dualism doctrine points to difference of international law and municipal law, consisting primarily in the fact that two system regulate different subject-matter. International law is a law between sovereign state, municipal law applies within a state and regulate the relation of its citizens with each other and with executive”
Pendapat diatas perlu pengkajian lebih lanjut, apabila pendapat diatas menyatakan bahwa hukum nasional sebagai system hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam suatu Negara. Persoalannya, bagaimanakah konteks hukum internasional yang juga mengakui individu sebagai subjek hukum internasional. Meskipun sifatnya sangat terbatas dalam hal-hal tertentu yang berkaitan dengan HAM dan Humaniter, tetapi dalam hubungan internasional modern kerapkaliindividu dianggap sebagai subjek hukum.
Hukum internasional tidak akan pernah berlaku secara efektif apabila kaedah, konsep dan prinsip-prinsipnya belum menjadi kaedah-kaedah hukum nasional. Untuk mengatasi polemic kedua aliran tersebut, maka ada baiknya pengkajian juga dilakukan terhadap faham-faham lain yang justru mendapat tempat dalam praktek hubungan internasional dewasa ini.
3. Teori Transformasi
Menurut teori transformasi, hukum internasional tidak akan pernah berlaku sebelum konsep, kaedah dan prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi bagian dari prinsip atau kaedah-kaedah hukum nasional. Agar dapat berlaku, maka prinsi-prinsip hukum internasional harus terlebih dahulu menjadi bagian dari prinsip-prinsip hukum nasional. Misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Lingkungan Hidup sebagai hasil transformasi dari hukum Lingkungan Internasional, yaitu Deklarasi Stockholm 1972. Demikian pula dengan Undang-Undang pembaharuannya, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup sebagai hasil transformasi Deklarasi Rio 1992.
Proses transformasi ini dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap Undang-undang. Perubahan dapat dilakukan dengan melakukan penambahan, pengurangan atau pembaharuan secara keseluruhan terhadap isi Undang-undang dan menggantikannya dengan yang baru. Proses perubahan tunduk dan diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum ketatanegaraan yang mekanisme kerjasamanya dengan pembuatan Undang-undang, yaitu dilakukan dengan melakukan pengajuan oleh DPR/DPRD atau presiden. Sebagaimana yang telah terjadi di Negara-negara lain yang memiliki proses yang sama:
“Thus a national court may hold that, as a matter of interpretation, a treaty obligation could not be applicable internally, without specific legal legislation.”
(dengan demikian pengadilan nasional boleh mengatakan bahwa sebagai materi interpretasi, kewajiban perjanjian tidak bisa dilaksanakan tanpa hukum).
4. Teori Adopsi
Teori adopsi, cara berfikirnya sangat sederhana. Hal ini sangat tergantung dari kemauan hakim untuk menerapkan prinsip-prinsip Hukum Internasional dalam menyelesaikan kasus-kasus nasional.
“a judge is entitle to resort to a rule of international law without requiring that it be consciously promulgate by the sovereign as one municipal law”
(Hakim berhak menggunakan ketentuan-ketentuan hukum internasional tanpa terlebih dahulu diumumkan oleh Negara atau pengadilan dari suatu Negara).
5. Teori Delegasi
Berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional setelah didelegasikan ke hukum nasional yang dapat dilegalkan dengan pencantuman kaedah-kaedah hukum internasional kedalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional atau dengan menerapkan kaedah-kaedahnya dalam memutus atau menyelesaikan sengketa nasional.
R.C. Hingorani menjelaskan:
“…..rules international law are left to state and national level for implementation.”
(ketentuan-ketentuan hukum internasional tertinggal oleh praktek Negara-negara dalam hubungan internasional)
Proses pendelegasian terjadi secara diam-diam (eksplisit) melalui konstitusi suatu Negara. Pada umumnya, konstitusi suatu Negara dapat menyelami kehendak dan maksud hukum internasional, hanya saja dalam pelaksanaannya ketentuan dimaksud belum dapat pengaturan dan implementasinya yang masih belum sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional.
6. Teori Harmonisasi
D.P.O. Connell menggambarkan teori ini melalui suatu pernyataan yang berbunyi:
“the theory of harmonization assumes that international law, as a rule of human behavior, form part of municipal law and hence is available to a municipal judge; but in the rare instance conflict between the two system theory acknowledges that he is obligade by his jurisdictional rules”
(teori harmonisasi menganggap bahwa hukum internasional sebagai hukum yang mengatur tingkah laku bagian hukum internasional dan diatur oleh hukum nasional, tetapi teori ini juga mengakui adanya konflik antar kedua hukum tersebut).
Berdasarkan pendapat diatas, titik tolak teori harmonisasi adalah “tingkah laku atau tindakan” yang sama antara hukum internasional dengan hukum nasional dengan batas-batas dan kewenangan yang berbeda.
Hukum internasional mengatur tingkah laku dalam hubungan antar Negara, sedangkan hukum nasional mengatur tingkah laku hubungan antar individu dengan indiividu dan individu dengan Negara. Tidak seluruh pendapat ini dapat dibenarkan, tetapi sangat masuk akal, apabila alasan-alasan yang diajukan sesuai dengan argument selanjutnya yang menyatakan bahwa:
“Further, we must never lose sight of the fact that this question of fundamental importance does not come up in the same way before an international tribunal as before a national court”
(Lebih jauh, kita tidak boleh kehilangan penglihatan tentang fakta bahwa masalah kepentingan dasar tidak datang dengan cara yang sama sebelum pengadilan internasional berhadapan dengan pengadilan nasional).
Jadi, kedua system hukum ini mempunyai wilayah masing-masing yang tidak dapat dicampuradukan antara keduanya. Kewenangan masing-masing menunjukan adanya harmonisasi karena dasar filosofis dan tujuan yang sama.
0 komentar:
Post a Comment