KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT, yang telah senantiasa melimpahkan Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan
aktifitas sehari-hari. Penyusun juga panjatkan kehadiran Allah SWT, karena
hanya dengan kerido’an-Nya Makalah dengan judul “Ekonomi Regional dan
Masalahnya” ini dapat terselesaikan.
Penulis
menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini
tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan-perbaikan
lebih lanjut.
Akhirnya
penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang
membutuhkan.
Jambi, Januari 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Keadaan
geografis Indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap mekanisme
pemerintahan Negara Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan
ini menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di
daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan
adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri
tetapi tetap terawasi dari pusat.
Di
era reformasi ini sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang memungkinkan
cepatnya penyaluran aspirasi rakyat, namun tetap berada di bawah pengawasan
pemerintah pusat. Hal tersebut sangat diperlukan karena mulai munculnya
ancaman-ancaman terhadap keutuhan NKRI, hal tersebut ditandai dengan banyaknya
daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indornesia.
Sumber
daya alam daerah di Indoinesia yang tidak merata juga merupakan salah satu
penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang memudahkan pengelolaan
sumber daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi
pendapatan nasional. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa terdapat beberapa
daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat daripada daerah lain.
Karena itulah pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan pemerintahan di
tingkat daerah yang disebut otonomi daerah.
Selama
masa Orde Baru, harapan yang besar dari Pemerintah Daerah untuk dapat membangun
daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari tahun ke
tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantungan
fiskal dan subsidi serta bantuan Pemerintah Pusat sebagai wujud
ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Belanja Daerah.
Setiap
upaya pembangunan daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan
jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam mencapai tujuan tersebut
pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil
inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah beserta
partisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumberdaya- sumberdaya yang
diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.
Teori
pertumbuhan dan pembangunan daerah salah satunya adalah teori lokasi dimana
perusahaan cenderung untuk meminimumkan biayanya dengan cara memilih yang
memaksimumkan peluangnya untuk mendekati pasar. Keterbatasan dari teori lokasi
pada saat sekarang adalah bahwa tekhnologi dan komunikasi modern telah mengubah
signifikasi suatu lokasi tertentu untuk kegiatan produksi dan distribusi
barang. Hal itu akan menimbulkan Ancaman Disintegrasi diantaranya kesenjangan
antardaerah à ketimpangan di daerah-daerah yang semakin mencolok (PDRB dan
indikator kesejahteraan) dan Trend Desentralisasi (otonomi daerah).
Pada
kenyataannya, otonomi daerah itu sendiri tidak bisa diserahkan begitu saja pada
pemerintah daerah. Selain diatur dalam perundang-undangan, pemerintah pusat
juga harus mengawasi keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah.
Apakah sudah sesuai dengan tujuan nasional, yaitu pemerataan pembangunan di
seluruh wilayah Republik Indonesia yang berdasar pada sila Kelima Pancassila,
yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
B.
BATASAN MASALAH
Penjelasan
mengenai perekonomian daerah.
Permasalahan-permasalahan
apa saja yang sering terjadi di dalam perekonomian daerah dan penyelesaiannya.
Usaha-usaha
apa saja yang dapat dilakukan untuk mengembangkan perekonomian daerah.
Peranan
Pemerintah dalam mengembangkan perekonomian daerah.
C.
RUMUSAN MASALAH
Dari
latar belakang di atas, maka didapat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa
yang dimaksud dengan perekonomian daerah?
2. Permasalahan
apa yang sering terjadi pada perekonomian daerah dan bagaimana penyelesaiannya?
3. Faktor
apa yang mempengaruhi perkembangan perekonomian setiap daerah berbeda?
4. Upaya-upaya
apa yang dapat dilakukan untuk mengembangkan perekonomian daerah?
D.
TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Makalah
ini diharapan dapat memberikan manfaat dan bertujuan antara
lain:
Untuk
mengetahui permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam prekonomian daerah,
sehingga kita bisa lebih menyempurnakan sistem yang ada untuk kepentingan
rakyat.
Memotivasi
daerah masing-masing untuk saling berlomba-lomba meningkatkan perekonomian
daerahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DAERAH
Pembangunan
ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya
mengelola sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan
antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan
kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi)
dalam wilayah tersebut.
Masalah
pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap
kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang
bersangkutan dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan dan
sumber fisik secara lokal (daerah).
Pembangunan
ekonomi yang sentralistis dimasa lalu, mengakibatkan terjadinya krisis
multidimensi yang dialami bangsa Indonesia, khususnya krisis dibidang ekonomi.
Krisis ekonomi yang terjadi merupakan akibat dari masalah fundamental dan
keadaan khusus. Masalah fundamental adalah tantangan internal berupa
kesenjangan yang ditandai oleh adanya pengangguran dan kemiskinan, sedangkan
tantangan eksternal adalah upaya meningkatkan daya saing menghadapi era
perdagangan bebas. Keadaan khusus adalah bencana alam kekeringan yang datang
bersamaan dengan krisis moneter yang merembet dari negara tetangga. Krisis
ekonomi ditandai melemahnya nilai tukar uang dalam negeri terhadap mata uang
asing (Gunawan Sumodiningrat, 2000).
Hal
tersebut bukan gagal membangun perekonomian nasional yang kokoh, tetapi justru
telah menciptakan disparitas ekonomi antar daerah dan antar golongan masyarakat
dinegara kita. Disparitas ekonomi yang terjadi sudah sangat mengkhawatirkan,
karena selain telah memicu kecemburuan dan kerusuhan sosial, juga telah
menimbulkan gejala disintegrasi berbangsa dan bernegara.
B.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EKONOMI
DAERAH
Proses
ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor, yaitu faktor ekonomi dan faktor non
ekonomi. Pertumuhan ekonomi suatu daerah tergantung pada sumber daya alamnya,
sumber daya manusia, modal, usaha, teknologi, dan sebagainya.Semua itu
merupakan faktor ekonomi.Namun pertumbuhan ekonomi tidak mungkin terjadi,
selama lembaga sosial, kondisi politik dan nilai-nilai moral dalam suatu bangsa
tidak menunjang. Di dalam pertumbuhan ekonomi, lembaga sosial, sikap budaya,
nilai moral, kondisi politik dan kelembagaan merupakan faktor non ekonomi.
Para
ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama yang
mempengaruhi pertumbuhan. Jatuh atau bangunnya pertumbuhan ekonomi merupakan
konsekuensi dari perubahan yang terjadi di dalam faktor produksi tersebut.
Beberapa faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah:
1. Sumber Daya Alam.
2. Akumulasi Modal.
3. Organisasi.
4. Kemampuan Teknologi
5. Pembagian Kerja dan Skala Produksi
Faktor-faktor
non ekonomi bersama-sama faktor ekonomi saling mempengaruhi kemajuan perekonomian.
Faktor non ekonomi juga memiliki arti penting di dalam pertumbuhan ekonomi.
Beberapa faktor non ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan adalah:
Faktor
Sosial: Faktor sosial dan budaya juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Faktor
manusia: Sumber Daya Manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan
ekonomi.
Faktor
Politik dan Administratif: Struktur politik dan administrasi yang lemah
merupakan penghambat besar bagi pembangunan ekonomi daerah.
C.
OTONOMI DAERAH
Sesuai
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32
Tahun 2004) definisi otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.”
UU
Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut:
“Daerah
otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Manfaat Otonomi Daerah:
1. Perencanaan
dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat
heterogen.
2. Memotong
jalur birokrasi yang rumit serta prosedur yang sangat terstruktur dari
pemerintah pusat.
3. Perumusan
kebijaksanaan dari pemerintah pusat akan lebih realistik.
4. Desentralisasi
akan mengakibatkan terjadinya “penetrasi” yang lebih baik dari Pemerintah Pusat
bagi daerah daerah yang terpencil atau sangat jauh dari pusat, dimana
seringkali rencana pemerintah tidak dipahami oleh masyarakat setempat, atau
dihambat oleh elite lokal, dan dimana dukungan terhadap program pemerintah
sangat terbatas.
5. Representasi
yang lebih luas dari beberapa kelompok politik, etnis, keagamaan didalam
perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam
mengaokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.
6. Peluang
bagi pemerintahan serta lembaga privat dan masyarakat di daerah untuk
meningkatkan kapasitas teknis dan managerial.
7. Dapat
meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi pejabat puncak
di pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat
daerah.
8. Dapat
menyiapka struktur dimana berbagai departemen di pusat dapat koordinasi secara
efektif bersama dengan pejabat daerah di berbagai daerah, propinsi, kabupaten
dan kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah.
9. Struktur
pemerintah yang didesentralisasikan diperlukan guna melembagakan partisipasi
masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program.
10. Dapat
meningkatkan pengawasan atas berbagai aktifitas yang dilakukan oleh elit lokal,
yang seringkali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak
sensitif terhadap kebutuha kalangan miskin di pedesaan.
11. Administrasi
pemerintahan menjadi mudah, disesuaikan inovasi dan kreatifitas. Kalau mereka
berhasil maka dapat dicontoh oleh daerah lain.
12. Memungkinkan
pemimpin di daerah menetapkan layanan dan fasiitas secara efektif,
mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor dan melakukan
evaluasi implementasi proyek penbangunan
dengan lebih baik daripada yang dilakukan oleh pejabat di pusat.
13. Menetapkan
stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada
berbagai kelompok masyarakat di daerah untuk ikut berpartisipasi secara
langsung dalam pembuatan kebijaksanaan, sehingga dengan demikian akan
meningkatkan kepentingan mereka didalam memelihara sistem politik.
14. Meningkatkan
penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah,
karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat karena sudah
diserahkan kepada daerah.
Otonomi Daerah berpijak pada dasar
Perundang-undangan yang kuat, yakni :
1.
Undang Undang Dasar.
Sebagaimana
telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat
untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian
pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah. Pemberlakuan sistem otonomi daerah
merupakan amanat yang diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan
berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan
daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan
daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi
daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut
oleh undang-undang.
Pasal
18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi
dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahandaerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang
olehundang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6)
pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
2.
Ketetapan MPR-RI
Tap
MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan,
Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
3.
Undang-Undang
Undang-undang
N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi.
Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran
masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Namun, karena dianggap tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk
menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri
mengesahkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
D.
PERMASALAHAN PEREKONOMIAN DAERAH
1. OTONOMI DAERAH
·
Penyelenggaraan otonomi daerah oleh
Pemerintah Pusat selama ini cenderung tidak dianggap sebagai amanat konstitusi
sehingga proses desentralisasi menjadi tersumbat.
·
Kuatnya kebijakan sentralisasi membuat
semakin tingginya ketergantungan daerah-daerah kepada pusat yang nyaris
mematikan kreatifitas masyarakat beserta seluruh pemerintahan di daerah.
·
Adanya kesenjangan yang lebar antara daerah,
pusat dan antar daerah sendiri dalam kepemilikan sumber daya alam, sumber daya
budaya, infrastruktur ekonomi, dan tngkat kualitas sumber daya manusia.
·
Adanya kepentingan melekat pada berbagai
pihak yang menghambat penyelenggaraan otonomi daerah.
·
Belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah
pusat dan daerah.
·
Berbedanya persepsi parapelaku pembangunan
terhadap kebijakan desentralisasi, dan otonomi daerah.
·
Masih rendahnya kerjasama antar pemeritah
daerah.
·
Belum terbentuknya kelembagaan pemerintah
daerah yang efektif dan efisien.
·
Terbatasnya dan rendahnya kapasitas aparatur
pemerintah daerah.
·
Pembentukan daerah otonom baru (pemekaran
wilayah) yang masih belum sesuai dengan tujuannya.
2. PEMEKARAN WILAYAH
Beberapa
pihak merasakan bahwa pemekaran bukanlah jawaban utama meningkatkan kesejahteraan
masyarakat (Ida 2005). Fitrini et al. (2005) menegaskan bahwa pemekaran membuka
peluang untuk terjadinya bureaucratic and political rentseeking, yakni
kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari pemekaran wilayah, baik dana dari
pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah sendiri. Di sisi lain,
sebagai
sebuah daerah otonom baru, pemerintah daerah dituntut untuk menunjukkan
kemampuannya menggali potensi daerah. Hal ini bermuara kepada upaya peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang pada gilirannya menghasilkan suatu
perekonomian daerah berbiaya tinggi. Pemekaran juga dianggap sebagai bisnis
kelompok elit di daerah yang menginginkan jabatan dan posisi. Eforia demokrasi
juga mendukung. Partai politik, yang memang sedang tumbuh, menjadi kendaraan
kelompok elit ini menyuarakan aspirasinya, termasuk untuk mendorong pemekaran
daerah. RPJMN 2004-2009 mengamanatkan adanya program penataan daerah otonom
baru (DOB). Program ini ditujukan untuk menata dan melaksanakan kebijakan
pembentukan DOB sehingga pembentukan DOB tidak memberikan beban bagi keuangan
negara dalam kerangka upaya meningkatkan pelayanan masyarakat dan percepatan
pembangunan wilayah.
3. KEUANGAN DAERAH
Permasalahan:
·
Konflik penguasaan kewenangan yang
menghasilkan penerimaan.
·
Keuangan daerah yang kurang mencukupi
(Financial Insufficiency).
·
Overhead cost(gaji) pemda yang tinggi.
·
Kurangnya transparansi dan akuntabilitas
dalam penyusunan APBD.
·
Kurangnya kejelasan sistem pembiayaan melalui
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
·
Terbatasnya pemanfaatan DAK
·
Kurangnya manajemen aset.
·
Kebijakan investasi di daerah.
Penyelesaian:
·
Keuangan Pemda harus dikaitkan dengan
pembiayaan pelayanan yang dilakukan
·
Sumber-sumbet perekonomian nasional yang ada
di daerah di kelola oleh pusat atau kemitraan antara pusat dan daerah.
·
Pembiayaan pelayanan khususnya untuk
pelayanan kebutuhan dasar disusun berdasarkan atas standar pelayanan yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
·
Untuk meningkatkan dana DAU,maka perlu adanya
rasionalisasi dana sektoral yang masih besar dalam alokasi APBN.
·
Untuk membantu daerah dalam memperbaiki
prasarana daerah yang rusak, maka perlu adanya alokasi DAK.
4. PERWAKILAN
Permasalahan:
·
Kemitraan yang tidak jelas.
·
Meningkatnya kewenangan DPRD.
·
Kurang terserapnya aspirasi masyarakat oleh DPRD.
·
Campur tangan DPRD dalam penentuan penunjukan
pejabat karir.
·
Masih kurangnya pemahaman DPRD terhadap
peraturan perundangan
·
Kurangnya kompetensi anggota DPRD dan
lemahnya hubungan kerjasama.
Penyelesaian:
·
Peningkatan hubungan DPRD dengan masyarakat.
·
Peningkatan akuntabilitas DPRD dan kepala
daerah.
5. PELAYANAN PUBLIK
·
Permasalahan
·
Rendahnya kualitas pelayanan.
·
Masih besarnya peranan pemda dalam penyediaan
pelayanan.
·
Tidak jelasnya standart pelayanan.
·
Rendahnya akuntabilitas pelayanan.
Penyelasian:
·
Identifikasi dan Standarisasi pelayanan
pemda.
·
Penentuan standar pelayanan baik yang
bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
·
Peningkatan Kinerja Pelayanan oleh Pemda.
6. PENGAWASAN
Permasalahan:
·
Kurangnya sanksi terhadap pelanggar
peraturan.
·
Kurangnya supervisi dan sosialisasi ke
daerah.
·
Kurangnya kepatuhan pada peraturan dan
lemahnya penegak hukum.
Penyelesaian:
·
Perlunya supervisi sosialisasi peraturan
perundangan.
·
Penegakan hukum yang tegas.
E.
PERAN PEMERINTAH
Ada
4 peran yang diambil oleh pemerintah daerah dalam proses pembangunan ekonomi
daerah yaitu :
1.
Entrepreneur Pemerintah daerah bertanggungjawab untuk menjalankan suatu usaha
bisnis seperti BUMD yan harus dikelola lebih baik sehingga secara ekonomis
menguntungkan.
2. Koordinator
Untuk
menetapkan kebijakan atau mengusulkan strategi-strategi bagi pembangunan
didaerahnya. Dalam peranya sebagia koordinator, pemerintah daerah bisa juga
melibatkan lembaga-lembaga pemerintah lainnya, dunia usaha dan masyarakat dalam
penyusunan sasaran-sa\saran konsistensi pembangunan daerah dengan nasional
(pusat) dan menjamin bahwa perekonomian daerah akan mendapatkan manfaat yang
maksimum daripadanya.
3.
Fasilitator
Pemerintah
daerah dapat mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan didaerahnya,
hal ini akan mempercepat proses pembangunan dan prosedur perencanaan serta
pengaturan penetapan daerah (zoning) yang lebih baik.
4.
Stimulator
Pemerintah
daerah dapat menstumulasi p[enciptaan dan pengembangan usaha melalui
tindakan-tindakan khusus yang akan mempengaruhi perusahaan-perusahaan untuk
masuk ke daerah tersebut dan menjaga agar perusahaan yang telah ada tetap
berada di daerah tersebut.
F.
UPAYA MEMBANGUN PEREKONOMIAN
DAERAH
1. OTONOMI DAERAH
Dengan
otonomi daerah maka pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk
menampilkan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan
kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam
menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh
lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah
pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah
serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata
Dengan
melakukan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat
sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah cinderung lebih menegeti
keadaan dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya
daripada pemerintah pusat. Contoh di Maluku dan Papua program beras miskin yang
dicanangkan pemerintah pusat tidak begitu efektif, hal tersebut karena sebagian
penduduk disana tidak bisa menkonsumsi beras, mereka biasa menkonsumsi sagu,
maka pemeritah disana hanya mempergunakan dana beras meskin tersebut untuk
membagikan sayur, umbi, dan makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Selain
itu, dengan system otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil
kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu saat itu, tanpa harus melewati prosedur
di tingkat pusat.
Tujuan
dilaksanakannya otonomi daerah:
1. Mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui:
Peningkatan
pelayanan
Pemberdayaan
dan peran serta masyarakat
2. Meningkatkan daya saing daerah dengan
memperhatikan:
Prinsip
demokrasi.
Pemerataan.
Keadilan.
Keistimewaan
serta kekhususan daerah
Potensi
dan keanekaragaman daerah dalam sistem NKRI
2. AGROPOLITAN DAN AGRIBISNIS
a. Agropolitan
Konsep
pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan Mc.Douglass dan Friedmann
(1974, dalam Pasaribu, 1999) sebagai siasat untuk pengembangan perdesaan.
Meskipun termaksud banyak hal dalam pengembangan agropolitan, seperti
redistribusi tanah, namun konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan
perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain yang digunakan oleh
Friedmann adalah .kota di ladang..
Dengan
demikian petani atau masyarakat desa tidak perlu harus pergi ke kota untuk
mendapatkan pelayanan, baik dalam pelayanan yang berhubungan dengan masalah
produksi dan pemasaran maupun masalah yang berhubungan dengan kebutuhan sosial
budaya dan kehidupan setiap hari. Pusat pelayanan diberikan pada setingkat
desa, sehingga sangat dekat dengan pemukiman petani, baik pelayanan mengenai
teknik berbudidaya pertanian maupun kredit modal kerja dan informasi pasar.
Besarnya
biaya produksi dan biaya pemasaran dapat diperkecil dengan meningkatkan
faktor-faktor kemudahan pada kegiatan produksi dan pemasaran. Faktor¬faktor
tersebut menjadi optimal dengan adanya kegiatan pusat agropolitan. Jadi peran
agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian di sekitarnya
dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani setempat. Fasilitas
pelayanan yang diperlukan untuk memberikan kemudahan produksi dan pemasaran
antara lain berupa input sarana produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan,
dan lain-lain), sarana penunjang produksi (lembaga perbankan, koperasi,
listrik, dan lain-lain), serta sarana pemasaran (pasar, terminal angkutan,
sarana
transportasi,
dan lain-lain).
b. Agribisnis
Agribisnis
merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem hulu, usahatani, hilir, dan
penunjang. Menurut Saragih (1998, dalam Pasaribu 1999), batasan agribisnis
adalah sistem yang utuh dan saling terkait di antara seluruh kegiatan ekonomi
(yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem agribisnis budidaya, subsistem
agribisnis hilir, susbistem jasa penunjang agribisnis) yang terkait langsung
dengan pertanian.
Agribisnis
diartikan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari unsur-unsur kegiatan : (1)
pra-panen, (2) panen, (3) pasca-panen dan (4) pemasaran. Sebagai sebuah sistem,
kegiatan agribisnis tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, saling menyatu
dan saling terkait. Terputusnya salah satu bagian akan menyebabkan timpangnya
sistem tersebut. Sedangkan kegiatan agribisnis melingkupi sektor pertanian,
termasuk perikanan dan kehutanan, serta bagian dari sektor industri. Sektor
pertanian dan perpaduan antara kedua sektor inilah yang akan menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang baik secara nasional. (Gunawan Sumodininggat, 2000).
Perkembangan
agribisnis di Indonesia sebagian besar telah mencakup subsistem hulu, subsistem
usahatani, dan subsistem penunjang, sedangkan subsistem hilir masih belum
berkembang secara maksimal. Industri pupuk dan alat-alat pertanian telah
berkembang dengan baik sejak Pelita I hingga saat ini. Telah banyak
diperkenalkan bibit atau varietas unggul dalam berbagai komoditi untuk
peningkatan produksi hasil pertanian. Demikian juga telah diperkenalkan
teknik-teknik bertani, beternak, berkebun, dan bertambak yang lebih baik untuk
meningkatkan produktivitas pertanian.
3. STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI DAERAH
Menurut
Arsyad, Strategi pembangunan ekonomi daerah dapat dikelompokkan empat kelompok
besar yaitu :
a. Strategi Pengembangan Fisik/Lokalitas
Secara
khusus tujuan strategi pembangunan fisik/lokalitas ini dalah untuk menciptakan
identitas daerah, memperbaiki basis pesona (amenity base) atau kualitas hidup
masyarakat dan memperbaiki daya tarik pusat kota (civic center) dalam upaya
untuk memperbaiki dunia usaha daerah.
b. Strategi Pengembangan Dunia Usaha
Kegiatan
dunia usaha merupakan cara terbaik untuk menciptakan perekonomian daerah yang
sehat. Beberapa alat untuk mengembangkan dunia usaha ini, yaitu:
Penciptaan
iklim usaha yang baik bagi dunia usaha melalui pengaturan dan kebijakan yang
memberikan kemudahan bagi dunia usaha
Pembuatan
pusat informasi terpadu yang dapat memudahkan masyarakat dunia usaha untuk
berhubungan dengan aparat pemerintah daerah untuk segala macam kepentingan
Pendirian
pusat konsultasi dan pengembangan usaha kecil
Pembuatan
sistem pemasaran bersama untuk menghindari skala yang tidak ekonomis dalam
produksi, meningkatkan daya saing terhadap produk-produk impor dan meningkatkan
sikap kooperatif antar sesama pelaku bisnis.
Pembuatan
lembaga penelitian dan pengembangan.
c. Strategi Pengembangan Sumber Daya
Manusia
Sumber
daya manusia merupakan aspek yang paling penting dalam proses pembangunan
ekonomi. Oleh karena peningkatan kualitas dan ketrampilan sumber daya manusia
adalah suatu keniscayaan
d. Strategi Pengembangan Ekonomi Masyarakat
Kegiatan
pengembangan ekonomi masyarakat ini merupakan kegiatan yang ditujukan untuk
pengembangan suatu kelompok masyarakat tertentu di suatu daerah. Dalam bahasa
populer sekarang sering juga dikenal dengan istilah pemberdayaan (empowerment)
masyarakat. Kegiatan-kegiatan seperti ini berkembang marak di Indonesia
belakangan ini karena ternyata kebijakan umum ekonomi yang ada tidak mampu
memberikan manfaat bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
4. KERJA SAMA DAERAH
Kerja
sama daerah adalah kesepakatan antara Gubernur dengan Gubernur atau Gubernur
dengan Bupati/Walikota atau antara Bupati/Walikota dengan Bupati/Walikota yang
lain dan atau Gubernur, Bupati/Walikota dengan pihak ketiga secara tertulis
serta menimbulkan hak dan kewajiban.
Kerja
sama daerah dilakukan dengan prinsip:
a.
efisiensi;
b.
efektivitas;
c.
sinergi;
d.
saling menguntungkan;
e.
kesepakatan bersama;
f.
itikad baik;
g.
mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah NKRI
h.
persamaan kedudukan;
i.
transparansi;
j.
keadilan; dan
k.
kepastian hukum.
Dasar
Hukum Kerjasama Daerah:
·
UU no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
·
pasal 195 : dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang
didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik,
sinergi dan saling menguntungkan. Pasal 196, pasal 197 dan pasal 198.
·
Peraturan Presiden nomor 67 tahun 2005
tentang
·
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
·
Penyediaan Infrastruktur.
·
Permendagri nomor 3 tahun 2008 tentang
Petunjuk
·
Pelaksanaan Kerjasama Daerah.
5. MANAJEMEN PEMBANGUNAN DAERAH YANG PRO
BISNIS
Prinsip-prinsip
manajemen pembangunan yang pro-bisnis adalah antara lain sebagai berikut:
a. Menyediakan Informasi kepada Pengusaha
Pemerintah
daerah dapat memberikan informasi kepada para pelaku ekonomi di daerahnya
ataupun di luar daerahnya kapan, dimana, dan apa saja jenis investasi yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang akan datang.
Dengan
cara ini maka pihak pengusaha dapat mengetahui arah kebijakan pembangunan
daerah yang diinginkan pemerintah daerah, sehingga dapat digunakan sebagai
dasar pertimbangan dalam menentukan dalam kegiatan apa usahanya akan perlu
dikembangkan.
Pemerintah
daerah perlu terbuka mengenai kebijakan pembangunannya, dan informasi yang
diterima publik perlu diupayakan sesuai dengan yang diinginkan.
b. Memberikan Kepastian dan Kejelasan
Kebijakan
Perhatian
utama calon penanam modal adalah masalah kepastian kebijakan. Pemerintah daerah
akan harus menghindari adanya tumpang tindih kebijakan jika menghargai peran
pengusaha dalam membangun ekonomi daerah. Ini menuntut adanya saling komunikasi
diantara instansi-instansi penentu perkembangan ekonomi daerah. Dengan cara
ini, suatu instansi dapat mengetahui apa yang sedang dan akan dilakukan
instansi lain, sehingga dapat mengurangi terjadinya kemiripan kegiatan atau
ketiadaan dukungan yang diperlukan.
Pengusaha
juga mengharapkan kepastian kebijakan antar waktu. Kebijakan yang berubah-ubah
akan membuat pengusaha kehilangan kepercayaan mengenai keseriusannya membangun
ekonomi daerah. Pengusaha daerah umumnya sangat jeli dengan perilaku pengambil
kebijakan di daerahnya. Kerjasama yang saling menguntungkan mensyaratkan adanya
kepercayaan terhadap mitra usaha. Membangun kepercayaan perlu dilakukan secara
terencana dan merupakan bagian dari upaya pembangunan daerah.
c. Mendorong Sektor Jasa dan Perdagangan
Sektor
ekonomi yang umumnya bekembang cepat di kota-kota adalah sektor perdagangan
kecil dan jasa. Sektor ini sangat tergantung pada jarak dan tingkat kepadatan
penduduk. Seharusnya pedagang kecil mendapat tempat yang mudah untuk berusaha,
karena telah membantu pemerintah daerah mengurangi pengangguran. Pada waktunya
pengusaha kecil akan membayar pajak kepada pemerintah daerah. Dengan
menstimulir usaha jasa dan perdagangan eceran, pertukaran ekonomi yang lebih
cepat dapat terjadi sehingga menghasilkan investasi yang lebih besar. Adanya
banyak pusat-pusat pedagang kaki lima yang efisien dan teratur akan menarik
lebih banyak investasi bagi ekonomi daerah dalam jangka panjang.
Sebagian
besar lapangan kerja yang ada dalam suatu wilayah diciptakan oleh usaha kecil
dan menengah. Namun usaha kecil juga rentan terhadap ketidakstabilan, yang
terutama berkaitan dengan pasar dan modal, walaupun secara umum dibandingkan
sektor skala besar, usaha kecil dan menengah lebih tangguh menghadapi krisis
ekonomi.
d. Meningkatkan Daya Saing Pengusaha
Daerah
Meningkatkan
daya saing adalah dengan meningkatkan persaingan itu sendiri. Ini berarti
perlakuan-perlakukan khusus harus ditinggalkan. Proteksi perlu ditiadakan
segera ataupun bertahap.
Pengembangan
produk yang sukses adalah yang berorientasi pasar, ini berarti pemerintah
daerah perlu mendorong pengusaha untuk selalu meningkatkan efisiensi teknis dan
ekonomis. Peraturan perdagangan internasional harus diperkenalkan dan
diterapkan.
Perlu
ada upaya terencana agar setiap pejabat pemerinah daerah mengerti
peraturan-peraturan perdagangan internasional ini, untuk dapat mendorong
pengusaha-pengusaha daerah menjadi pemain-pemain yang tangguh dalam perdagangan
bebas, baik pada lingkup daerah, nasional maupun internasional.
e. Membentuk Ruang yang Mendorong
Kegiatan Ekonomi
Membentuk
ruang khusus untuk kegiatan ekonomi akan lebih langsung menggerakkan kegiatan
ekonomi. Pemerintah daerah perlu berusaha mengantisipasi kawasan-kawasan mana
yang dapat ditumbuhkan menjadi pusat-pusat perekonomian wilayah.
Kawasan-kawasan yang strategis dan cepat tumbuh ini dapat berupa kawasan yang
sudah menunjukkan tanda-tanda aglomerasi, seperti sentra-sentra produksi
pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan;
klaster industri, dsb.
Kawasan
cepat tumbuh juga dapat berupa kawasan yang sengaja dibangun untuk memanfaatkan
potensi SDA yang belum diolah, seperti yang dulu dikembangkan dengan sistim
permukiman transmigrasi. Kawasan-kawasan ini perlu dikenali dan selanjutnya ditumbuhkan
dengan berbagai upaya pengembangan kegiatan ekonomi, seperti pengadaan terminal
agribisnis, pengerasan jalan, pelatihan bisnis, promosi dsb.
Pengembangan
kawasan-kawasan strategis dan cepat tumbuh ini perlu dilakukan bersamaan dengan
upaya peningkatan keterampilan, pengembangan usaha, dan penguatan keberdayaan
masyarakat.
6. INVESTASI
Investasi
merupakan salah satu faktor yang menentukan pembangunan daerah sebagaimana yang
dinyatakan dalam Kasus bahwa membuka lapangan pekerjaan berarti membuka peluang
investasi di daerah. Tanpa investasi pembangunan daerah sulit dilaksanakan. Di
dalam menentukan pengalokasian investasi diperlukan perencanaan pembangunan
daerah tersebut dimana perencanaan tersebut untuk memperbaiki pengunaan
sumberdaya – sumberdaya publik yang tersedia di daerah dan untuk memperbaiki
kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai sumberdaya-sumberdaya swasta
secara bertanggung jawab.
Implikasi
perencanaan pembangunan ekonomi daerah :
· Perencanaan pembangunan ekonomi
daerah yang realistik memerlukan pemahaman
tentang hubungan antara daerah dengan lingkungan nasional.
· Sesuatu yang tampaknya baik secara
nasional belum tentu baik untuk daerah dan sebaliknya yang baik bagi daerah
balum tentu baik bagi secara nasional
· Perangkat kelembagaan yang tersedia
untuk pembangunan daerah misalnya administrasi, proses pengambilan keputusan,
otoritas biasanya sanagt berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada
tingkat pusat.
Jadi
perbedaan tingkat pembangunan antar daerah mengakibatkan perbedaan tingkat
kesejahteraan dan kalau hal ini dibiarkan dapat menimbulkan dampak yang kuarang
menguntungkan bagi suatu negara.
Di
daerah-daerah yang sedang berkembang permintaan barang dan jasa mendorong
naiknya investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya
di daerah-daerah yang kurang berkemabng permintaan akan investasi rendah karena
pendapatan masyarakat yang rendah.
7. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH YANG
BERORIENTASI PADA KEPENTINGAN PUBLIK
Reformasi
sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era New Public
Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan yang lebih
sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring dengan
perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran sektor publik,
misalnya adalah teknik anggaran kinerja (performance budgeting), Zero Based
Budgeting (ZBB), dan Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS).
Pendekatan
baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki karak-teristik
umum sebagai berikut:
Ø Komprehensif/komparatif
Ø Terintegrasi
dan lintas departemen
Ø Proses
pengambilan keputusan yang rasional
Ø Berjangka
panjang
Ø Spesifikasi
tujuan dan perangkingan prioritas
Ø Analisis
total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)
Ø Berorientasi
input, output, dan outcome (value for money), bukan sekedarinput.
Ø Adanya
pengawasan kinerja.
Perubahan
dalam pengelolaan keuangan daerah harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip
pengelolaan keuangan daerah (anggaran) yang baik. Prinsip manajemen keuangan
daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut
meliputi:
a. Akuntabilitas
Akuntabilitas
adalah prinsip pertanggungjawaban publik yang berarti bahwa proses penganggaran
mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus benar-benar dapat
dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat
b. Value for Money
Value
for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu
ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan
penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang
paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public money)
tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna). Efektivitas
berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai target-target atau
tujuan kepentingan publik.
Indikasi
keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) yang semakin baik,
kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan
tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor publik dikelola dengan
memperhatikan konsep value for money.
c. Kejujuran dalam Pengelolaan Keuangan
Publik (Probity)
Pengelolaan
keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan
kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat diminimalkan.
d. Transparansi
Transparansi
adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah
sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi
pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal
accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga tercipta
pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan responsif
terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
e. Pengendalian
Penerimaan
dan pengeluaran daerah (APBD) harus selalu dimonitor, yaitu dibandingkan antara
yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis
varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat
sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke
depan.
Prinsip-prinsip
yang mendasari pengelolaan keuangan daerah tersebut harus senantiasa dipegang
teguh dan dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan, karena pada dasarnya
masyarakat (publik) memiliki hak dasar terhadap pemerintah, yaitu:
1. Hak untuk mengetahui (right to know),
yaitu:
· Mengetahui kebijakan pemerintah.
· Mengetahui keputusan yang diambil
pemerintah.
· Mengetahui alasan dilakukannya suatu
kebijakan dan keputusan tertentu.
2. Hak untuk diberi informasi (right to be
informed) yang meliputi hak untuk diberi penjelasan secara terbuka atas
permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi perdebatan publik.
3. Hak untuk didengar aspirasinya (right to be
heard and to be listened to).
8. PENGAWASAN
Pemberian
otonomi daerah seluas-luasnya berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan
(diskresi) kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah
secara optimal. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian
wewenang dan keleluasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan
yang kuat. Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi
peran DPRD sebagai kekuatan penyeimbang (balance of power) bagi eksekutif
daerah dan partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melalui
LSM dan organisasi sosial kemasyarakatan di daerah (social control).
Pengawasan
oleh DPRD tersebut harus sudah dilakukan sejak tahap perencanaan, tidak hanya
pada tahap pelaksanaan dan pelaporan saja sebagaimana yang terjadi selama ini.
Hal ini penting karena dalam era otonomi, DPRD memiliki kewenangan untuk
menentukan Arah dan Kebijakan Umum APBD. Apabila DPRD lemah dalam tahap
perencanaan (penentuan Arah dan Kebijakan Umum APBD), maka dikhawatirkan pada
tahap pelaksanaan akan mengalami banyak penyimpangan. Akan tetapi harus
dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap eksekutif daerah hanyalah
pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (policy) yang digariskan bukan
pemeriksaan. Fungsi pemeriksaan hendaknya diserahkan kepada lembaga pemeriksa
yang memiliki otoritas dan keahlian profesional, misalnya BPK, BPKP, atau
akuntan publik yang independen. Dewan dapat meminta BPK atau auditor independen
lainnya untuk melakukan pemeriksaan terhadap kinerja keuangan eksekutif.
Untuk
memperkuat fungsi pengawasan, DPRD bisa membentuk badan ombudsmen yang
berfungsi sebagai pengawas independen untuk mengawasi jalannya suatu lembaga
publik. Namun untuk fungsi pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan yang memiliki
otoritas dan keahlian profesional. Hal tersebut agar DPRD tidak disibukkan
dengan urusan-urusan teknis semata, sehingga Dewan dapat lebih berkonsentrasi
pada permasalahan-permasalahan yang bersifat kebijakan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Setelah
era reformasi, telah terungkap bahwa pembangunan ekonomi yang sentralistis
(topdown) membawa akibat terjadinya disparitas ekonomi yang sangat
mengkhawatirkan bagi bangsa dan negara kita. Pada masa lalu, kebijakan
pembangunan yang top-down, dimana pemerintah pusat cenderung terlalu banyak
turut campur tangan terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi di daerah. Hal tersebut
mengakibatkan rapuhnya perekonomian nasional dan parahnya disparitas ekonomi
antar daerah dan golongan masyarakat, karena tidak berakar kuat pada ekonomi
daerah.
Oleh
karena itu, dengan diberlakukannya Konsep Otonomi Daerah dengan kebijakan
pembangunan ekonomi yang bottom-up, sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan
disetiap daerah harus dapat mendayagunakan sumber daya yang terdapat atau dikuasi
oleh masyarakat di daerah tersebut. Cara yang paling efektif untuk
mengembangkan perekonomian daerah adalah melalui pengembangan potensi daerah,
investasi, pembanguanan daerah yang pro bisnis, agropolitan dan agribisnis,
pengawasan terhadap perekonomian daerah, dan pengelolaan keuangan daerah yang
berorientasi pada publik. Dengan demikian perekonomian daerah akan mampu
berkembang lebih cepat. Apabila hal tersebut terwujud akan mampu menghambat
arus urbanisasi bahkan justru mendorong pluralisasi sumber daya manusia.
B.
SARAN
Pemerintah
pusat tetap harus mengatur dan menjalankan urusan di beberapa sektor di tingkat
kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal punya kapasitas dan mekanisme
bagi pengaturan hukum tambahan atas bidang-bidang tertentu dan penyelesaian
perselisihan.
Kalau
perlu, sebaiknya pemerintah pusat membuat suatu lembaga independen di tingkat
daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Tidak hanya mengawasi dan
menindak pelanggaran korupsi seperti yang tengah gencar dilakukan KPK, tetapi
juga mengawasi setiap kebijakan dan jalannya pemerintahan dimana lembaga ini
dapat melaporkan segala tidakan-tindakan pemeritah daerah yang dianggap
merugikan rakyat di daerah itu sendiri
DAFTAR PUSTAKA
· Coe, Charles K. (l989) Public Financial
Management, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey.
· Juoro, Umar (1990) “Persaingan Global
dan Ekonomi Indonesia dekade 1990-an”, Prisma No. 8 tahun XIX.
· Kuncoro, Mudrajat dan Abimanyu,
Anggito (1995) “Struktur dan Kinerja Industri Indonesia dalam Era Deregulasi
dan Globalisasi”, KELOLA, No. 10/IV.
· Kuncoro, Mudrajat (1997) “Otonomi
Daerah dalam Transisi”, pada Seminar Nasional Manajemen Keuangan Daerah dalam
Era Global, 12 April, Yogyakarta.
· Mardiasmo dan Kirana Jaya, Wihana
(1999) “Pengelolaan Keuangan Daerah yang Berorientasi pada Kepentingan Publik”,
KOMPAK STIE YO, Yogyakarta, Oktober.
· Mardiasmo (2002) “Akuntansi Sektor
Publik”, Penerbit Andi Yogyakarta.
· Nasution, Anwar (l990) “Globalisasi
Produksi, Pengusaha Nasional dan Deregulasi Ekonomi”, Prisma No. 8 tahun XIX.
· Ohmae, Kenichi (1991) The borderless
World, Power and Strategy in the Interlinked Economic, Harper Collins, London.
· Osborne, David and Ted Gaebler (1993)
Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the
Public Sector. Penguins Books, New York.
· Shah, Anwar (l997) Balance,
Accountability and Responsiveness, Lesson about Decentralization, World Bank,
Washington D.C.
· Sumodiningrat, Gunawan (l999)
Pemberdayaan Rakyat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
· Sudarsono, Juwono (l990) “Globalisasi
Ekonomi dan Demokrasi Indonesia”, Prisma, No. 8 tahun XIX.
· Umar, Asri (l999) “Kerangka Strategis
Perubahan Manajemen Keuangan Daerah Sebagai Implikasi UU RI No. 22 tahun 1999
dan UU RI No. 25 tahun 1999”, PSPP, Jakarta, Juli-Desember.
· Pasaribu, M., 1999. Kebijakan dan
Dukungan PSD-PU dalam Pengembangan Agropolitan. Makalah pada Seminar Sehari
Pengembangan Agropolitan dan Agribisnis serta Dukungan Prasarana dan Sarana,
Jakarta, 3 Agustus 1999.
· Saragih, Bungaran, 1999. Pembangunan
Agribisnis Sebagai Penggerak Utama Ekonomi Daerah di Indonesia. Makalah pada
Seminar Sehari Pengembangan Agropolitan dan Agribisnis serta Dukungan Prasarana
dan Sarana, Jakarta, 3 Agustus 1999.
0 komentar:
Post a Comment