04 November 2010

Telaga Beracun

Datu terkadang juga Datuk, demikian panggilan sapaan bagi pemimpin puak dalam masyarakat pantai Timur Sumatera pada waktu itu. Sebelum munculnya kerajaan Melayu, para Datu-datu itulah yang berkuasa dimasing-masing puak. Kekuasaan mereka seperti layaknya raja. Para pemimpin puak itulah yang berkuasa  sebagai raja-raja kecil.

Raja Tuah Begubang, demikian gelar Datu di Negeri Tanah Melayu Begubang, menurut yang empunya cerita, tempatnya kira-kira seputar Tanjung Jabung Timur sekarang, Adalah seorang Datu yang arif dan bijaksana dalam memimpin puaknya. Meski penduduknya tidak banyak, tetapi mereka disegani oleh puak-puak lainnya karena keberanian dan kekompakan mereka.

Raja Tuah Begubang acapkali mengunjungi anak negerinya. Beliau sangat dicintai rakyatnya. Setiap mengunjungi rakyatnya, beliau tidak lupa memberikan nasehat dan ajaran, pikirnya membangun negeri itu tidak hanya bangunan fisiknya, tetapi juga jiwa rakyatnya mestilah dibangun, agar rakyatnya turut serta membangun negeri dan memelihara negeri dengan menjaga keamanan dan ketentraman. Agar negeri kita tidak kacau menurut paham beliau, kita harus berpantang dengan mengekang nafsu angkara. Antara lain ajaran beliau yang sangat penting adalah melaksanakan pantangan untuk tidak mencuri, tidak berdusta, tidak menipu, tidak berzinah, tidak berjudi dan tidak mabok. Kalau ini memang benar-benar dijalankan, dapat dipastikan negeri kita akan tentram dan tidak ada kekacauan, kata beliau.

Tidak heran, jika negeri itu benar-benar aman dan sejahtera. Tidak ada barang yang hilang meski rumah yang ditinggalkan tidak berkunci. Tidak ada yang mengambil meski ada dompet atau uang yang tercecer dijalan. Pernah terjadi, ada ayam lepas di pasar, entah siapa yang punya, tidak ada yang tahu. Setelah beberapa hari, karena ayam tersebut sangat mengganggu orang berjual-beli, seseorang bermaksud mengamankanya dengan mengurungkan ayam dengan songkak pengurung ayam. Tak lama datang beberapa orang pengawal kedatuan menangkap orang itu. Orang itu tersangka mencuri atau ingin menguasai tidak dengan sah mendapat hukuman dia dikurung dalam songkak selama tiga hari dengan lehernya digantungkan ayam. Karena tidak ada saksi bagi rencananya dan ayam itu belum sempat dijual atau dipotong.

            Di halaman istana Raja Tuah Begubang yang luas itu berdiri sebuah bangunan Balairung Begubang yang dipergunakan sebagai balai pertemuan para petinggi kedatuan. Tidak jarang pula balairung itu dipergunakan sebagai panggung terbuka pada malam hiburan rakyat. Keluarga Raja Begubang sering menyelenggarakan gelar budaya dengan mengadakan pertunjukan berupa tarian, nyanyian ataupun ketangkasan bela diri. Acara pergelaran seni yang paling diminati anak negeri manakala putera-puteri Begubang menampilkan tarian yang dirancang sendiri Puteri Begubang nan jelita itu.

Di sudut kanan alun-alun telah ada pula telaga jernih yang tak pernah kering airnya. Di sekeliling tasik itu tumbuh perduan berbunga yang tertata secara alami, membuat keindahan halaman istana. Memang, sejak tumbuh kedatuan Begubang, anak negerinya diwajibkan menjaga alam. Mereka percaya bahwa alam akan membalas perlakuan manusia dengan setimpal. Tidak sembarangan anak negeri dapat menebang pohon, ada ayat ayat amaran yang bersangsi hukuman. Tumbang satu tanam seribu, bagi pelanggar dibuang jauh, sejauh tujuh hari perjalanan.
Khawatir telaga terusik rakyatnya, karena alun-alun halaman istana sering dipakai tempat berkumpulnya anak negeri, maka berucaplah Sang Datu Raja Tuah Begubang

“Hai, rakyatku sekalian ! Sesunguhnya air telaga itu beracun, barang siapa meminum airnya maka menjadi orang gila.” Semua anak negeri percaya dan semuanya tidak berani mengusik apa lagi menggunakan air telaga itu. Mereka yakin, kata-kata raja itu sakti, mengandung kebenaran. Dan mereka percaya betul bahwa Datuk Tuah Begubang memang bertuah. Mereka menyaksikan sendiri, betapa ikan yang ada di telaga itu tidak ada, bahkan tidak terdapat mahluk hidup di telaga itu.

Selang beberapa tahun kemudian, negeri Tanah Melayu Begubang berduka, apa pasal ? Datuk Tuah Begubang berduka, Puteri Begubang berduka, seiisi istana berduka, anak negeri berduka.

Ya, negeri dilanda duka, lima purnama sudah tidak hujan. Tanaman telah banyak yang mati, hutan telah pula terbakar. Negeri terancam gersang. Air laut merambat kedarat, air sungai tak lagi tawar, asin dan payau, tidak bisa diminum. Ternak tidak sedikit yang mati. Binatang buruan seakan lenyap ditelan bumi.

            Air diburu kemana-mana, dimana ada air kesana anak negeri memburu, sedikit sama berbagi. Hari itu mereka beramai-ramai ke istana, mereka anteri. Masing masing dapat jatah satu batok air.

Betapa tidak, air tempayan telah kering, sumur telah kering, tasik telah pula kering, tanah kubangan telah merekah, air sungai telah pula surut dan airnyapun payau rasanya asin.
Dari pada mati kehausan, seseorang dengan mengendap-endap pergi ke telaga beracun, biarlah gila dari pada mati katanya membatin. Dengan kendi labu ditimbanya telaga, diapun minum sepuas puasnya. Kemudian dibasahinya badannya sekujur.

            “Tidak apa-apa”  pikirnya, kemudian ditimbanya lagi sampai penuh kendi labunya. Untuk dibawa pulang katanya pula. Sambil berjalan dia bernyanyi-nyanyi. Sepanjang jalan menuju rumahnya orang menyaksikannya dan mendengarkan nyanyiannya.

Tidak apa-apa aku minum air telaga
Tidak apa-apa aku mandi air telaga
Tidak apa-apa aku tidak gila
Tidak apa-apa aku tidak dusta.

Begitulah teriakan nyanyinya sepanjang jalan sampai di rumahnya diiringi orang-orang yang melihatnya di sepanjang jalan. Orang ramai menyaksikan seisi rumah yang sangat dahaga itu minum air telaga. Karena ramai orang memasuki rumah, banyaklah orang yang terpercik air telaga. Anehnya pula orang orang yang tersentuh air telaga itu timbul keinginannya untuk meminum air telaga. Sehingga banyaklah yang tertular meminum air telaga.

            Dalam waktu yang tidak begitu lama, pecahlah kabar keseluruh negeri, bahwa ada orang yang minum air telaga tidak menjadi gila. Banyak yang percaya, ada juga yang tidak percaya. Bagi yang percaya mereka berbondong bondong mengambil dan minum air telaga. Sedangkan yang tidak percaya mereka berdoa semoga tidak terjadi mala petaka yang lebih dahsyat lagi. Sang Datuk Tuah Begubang sendiri merasa prihatin dengan kejadian tersebut karena belum mendapatkan jalan keluarnya untuk mencegah rakyatnya minum air telaga beracun itu. Beliau sangat mengkhawatirkan rakyat yang minum air telaga itu menjadi gila, kacaulah negeri ini.  
       
Mencermati gejala-gejala yang semakin memburuk ini, maka Datuk Tuah Begubang memanggil para pembantunya guna bermusyawarah untuk mengantisipasi keadaan. Ketika dimintai pendapatnya maka menjawablah juru ramal kedatuan:

“Maaf Datuk, beribu ampun, tak mampu lopion hamba membaca tanda-tanda. Hanya menampilkan gelap belaka yang terkadang terang. Menurut hemat hamba, kita haruslah bersabar dan berdoa meminta pertolongan kepada Yang Menguasai Langit, Bumi dan Alam agar diturunkan hujan. Karena atas KehendakNyalah semua ini bisa terjadi.”

Datuk Tuah Begubang tercenung, kemudian mengangguk-anggukkan kepala, agaknya beliau sependapat dengan juru ramal itu. Kemudian diperintahnya pemimpin pengawal kedatuan untuk menghimpun seluruh anak negeri di alun-alun halaman istana untuk upacara kedatuan yakni upacara minta hujan.

            Upacara itu berlangsung dengan khidmad, anak negeri banyak yang menangis, manakala Datu Tuah Begubang memberikan amanatnya pada upacara tersebut. Mereka benar-benar sangat mencintai raja dan negerinya. Mereka dalam suasana kemelut batin atas musibah yang menimpa negeri dan penghuninya.

Meski mereka telah melaksanakan upacara ritual meminta hujan namun hujan yang dinanti tak kunjung tiba. Tentu saja ber bondonglah anak negeri yang tak mampu didera kekeringan itu menggunakan air telaga beracun. Perlahan tapi pasti semua orang yang minum air telaga menjadi gila. Dan akhirnya seluruh rakyat Negeri Tanah Melayu Begubangpun terjangkit gila. Para ahli istana saja yang masih normal, karena persediaan air hujan di istana masih ada walaupun tinggal sedikit.

Dapatlah kita bayangkan, betapa sulitnya memimpin orang gila, sedangkan dokter di rumah sakit jiwa saja sering kewalahan menghadapi orang gila, masih untung kalau masih ada dan mereka mau menggunakan obat penenang. Di zaman kedatuan itu mana ada obat penenang.

Terpaksa Sang Datu turun tangan langsung membina petinggi petinggi kedatuan dengan pengisian mantera dan jurus-jurus mengahadapi orang gila. Anehnya semua kiat kiat itu tidak mempan.

Kegilaan mereka memang benar-benar aneh, masalah kekerabatan dan cara berpakaian mereka tidak mengalami perubahan.

Cara mereka bersalaman lain dari biasanya, tidak lagi bersalaman tangan tetapi bersalaman tapak kaki. Kalau memanjat pohon lain lagi caranya yaitu kaki keatas sedangkan kepala dan tangan kebawah. Anehnya pula kalau makan, mereka tidak lagi menyuap dengan tangan, bagaimana cara kucing makan begitulah mereka. Dan lebih parah lagi mereka tidak lagi mengenal orang orang yang belum meminum air telaga, mereka mengira orang asing yang menjadi musuh mereka. Dan semakin parah lagi Datuk Tuah Begubangpun mereka tidak kenal lagi. Raja gergasi yang akan menjajah manusia kata mereka.

Dalam setiap rombongan anak negeri yang menjadi gila itu ada pemimpinnya, mereka sebut bego. Ada seorang bego yang sangat mengganggu, sering mengamuk hendak mengapak orang yang belum minum air telaga. Oleh Sang Datu diperintahnya pengawal kedatuan untuk membunuh bego yang sering mengamuk itu.

Aneh, sekali lagi aneh, tak satupun senjata sakti yang mampu menembus bego tersebut. Sehingga Datu Tuah Begubang sendiri turun gelanggang dengan mengeluarkan jurus Cakar Gasing yang mampu membongkar beringin sampai akar-akarnya itupun bego tak juga bergeming. Untung bego itu tak acuh saja, bahkan tidak membalas perlawanan hanya tersenyum-senyum.

Akhirnya para petinggi kedatuan, seorang demi seorang tak sudi melepaskan napasnya, rela melibatkan dirinya terjangkit gila, terpaksa minum air telaga beracun itu.

            Akibatnya tinggal Datu tuah Begubang sendiri yang waras, karena permaisuri dan puteri tunggalnyapun telah dicemari gila pula.
Resmilah sudah kini Datu Tuah Begubang sebatang kara memimpin orang-orang gila.

  Hari itu seluruh anak negeri kedatuan Begubang terlihat sibuk, super sibuk, belum ada kesibukan yang sesibuk itu sebelumnya. Mereka saling bincang bila berpapasan satu dengan yang lainnya. Bahasa mereka aneh sekali, menurut yang empunya cerita, bukanlah merupakan bahasa anak negeri waktu itu, tentu saja antara mereka saja yang paham. Terlihat mereka mengangguk-angguk, kadang tertawa dan salaman tapak kaki. Dan sering juga terdengar seperti orang bertepuk tangan ramai-ramai, tetapi bukan menepuk kedua tangannya, melainkan menampar-nampar pipi dengan kedua tangan mereka, ada-ada saja orang gila itu.

Seorang bego tiba-tiba saja berteriak sambil menari-nari dengan menggetar-getarkan badannya, kemana dia pergi diiringi oleh anak negeri yang sudah gila. Ya, mereka berjalan keliling negeri, semakin lama semakin banyaklah rombongan itu. Jadilah arak-arakan yang panjang. Permaisuri dan puteri Tuah Begubang ada diantara mereka. Kalau saja Permaisuri dan puterinya tidak memakai mahkota keluarga datu, sangat sulit untuk membedakan dengan mereka.

Sepanjang jalan mereka berteriak sambil menampar-nampar pipi, seperti meneriakkan jel sambil bertepuk. Mula-mula teriakan mereka hiruk pikuk saja karena setiap orang meneriakkan apa yang diingininya. Lama-lama suara teriakan semakin menyatu, semakin jelas dan semakin bersemangat.

            Teriak, menari, teriak, tertawa, teriak, tampar pipi mereka sepanjang jalan. Sampailah akhir perjalanan mereka, istana raja. Mereka berkumpul semua di alun-alun, sambil menari-nari, tarian orang gila. Mereka teriak, berteriak histeris, teriakan orang orang gila      

Tak seorangpun yang mampu mengendalikan, karena mereka tanpa komando dan tidak ada sponsor. Sepertinya mereka bergerak dengan insting saja. Teriakan mereka galau kacau balau, tidak seperti pada waktu mereka berjalan.

Bagi Datuk Tuah Begubang kejadian itu tidak perlu dibuta tulikan lagi, tidak dapat tidak ambil pusing. Meski suara suara itu tidak jelas vokalnya dan tidak ada pula petisi yang diajukan, beliau cukup arif  dan bijaksana dalam menangkap bathin anak negeri.

“Tak mungkin beta menganjurkan anak negeriku minum air telaga, meski itu pilihan terakhir. Jika berlaku, samalah tongkat pembawa rubuh
“Tak mungkin pula beta meninggalkan kedatuan akan hancurlah negeri ini,  tak sudi beta tinggalkan  negeri ini dalam kacau balau.”
“Tak mungkin pula mereka sebenar-benar bencikan beta, sedangkan anak dan isteriku dihormat dan disanjung mereka.”

 “Tak mungkin pula beta minum air telaga supaya sama-sama menjadi gila, lebih celaka lagi melanggar larang bertuah. Tetapi percumalah beta menjadi pemimpin anak negeri jika tidak mampu melaksanakan tuntutan mereka”

“Biarlah kuturuti kehendak anak negeri, biar kuminum air telaga. Apa nak jadi, jadilah. Semoga Yang Menguasai Alam Semesta memberikan kekuatan kepadaku kepada anak negeriku dan negeriku”
Tiba-tiba saja suasana alun alun yang hiruk pikuk itu henyap seketika manakala Datuk Tuah Begubang menampakkan dirinya diberanda istana. Semua mata nanap memandangnya, tak lepas, tak berkedip. Sang Datuk sedikitpun tak menoleh ke anak negeri, berjalan menjurus ke sudut alun alun, ke telaga beracun agaknya.

Di telaga beracun Sang Datuk menimba air dengan kendi labu, kemudian direguknya, regukan nikmat dalam dahaga.
            Anak negeri, orang orang gila itu terkesima, tak berbuat apa apa. Terpaku saja, semua galau tersimpan dalam dada mereka, bagai ledak yang tertahan, menerobos kemata, menerobos ke kaki, menerobos ke tangan, menerobos ke mulut, menerobos ke relung. Melahirkan sorak sorai yang menggegap gempita, melahirkan suka cita yang amat sangat, melahirkan haru biru yang luar biasa. Melahirkan kucuran air mata, melahirkan hentakan kaki dan gapaian tangan, melahirkan tari.

Dalam keadaan pasrah yang tulus, Datuk Tuah Begubang berbuat apa yang diingini anak negerinya. Beliau benar benar pasrah, terkonsentrasi, benar benar khusuk. Tak ingin beliau hanyut dalam kegilaan. Tak lepas pikirannya dengan Sang Penguasa Alam, dibiarkan saja dirinya digotong dalam tandu bersama permaisuri dan puterinya. Tak diperdulikannya, dengan khusuk yang tak lepas. 

Anak negeri bersuka ria mendaulat raja mereka Datuk Tuah Bergubang, diarak berkeliling negeri. Tak terasa letih, tak terasa terik panas, tak terasa haus dahaga, tak terasa lapar menggelitik. Mereka menikmati cinta, matipun mereka rela. Mereka terbenam dalam pusaran cinta. Rakyat cinta dengan rajanya, raja mencintai rakyatnya, mereka mencintai negerinya. Merekapun tak perduli apa yang terjadi, mereka mencapai fitrah, tak dirasakannya. Keajaiban terjadi atas kendak Yang Maha Berkehendak.

            Satu satu mereka menyadari, seorang demi seorang mereka menjadi waras dan ketika bertepuk tangan mereka tidak lagi menampar nampar pipi, mereka saling berjabat tangan, merekapun meneriakkan jel dengan benar.

“Daulat raja,
daulat Datuk Tuah Begubang,
Jayalah Negeri Begubang,

Hidup Raja kita,
Hidup Permaisuri
Hidup Puteri Tuah Begubang”

            Dan ketika mereka telah berhimpun di alun alun halaman istana, semuanya tidak lagi gila. Mereka waras, normal jasmani maupun rohani. Mereka mendengarkan dengan cermat segala petunjuk dan ajaran Datuk Tuah Begubang, karena mereka memang sangat patuh kepada raja yang adil dan bijaksana.

Begitupun, ketika Datuk Tuah Begubang berkata :
“Kita mestilah membuat tanda setia buat negeri, dengan melemparkan sebuah benda yang kita relakan untuk diberikan kepada kedatuan kedalam telaga beracun”

Maka semua anak negeripun berbuat. Mula-mula Puteri Tuah Begubang melemparkan pending emas kesayangannya ke telaga, Sang Datuk dan Permaisuri tersenyum dan bertepuk tangan. Semua anak negeripun melempar sesuatu yang dianggapnya bernilai. Ada yang melempar cincin, ada juga tusuk konde, bermacam macam benda yang telah dilempar ke telaga itu. Ada juga yang melempar jimat yang terbuat dari kayu, anehnya semua benda yang dimasukkan kedalam telaga tenggelam. Tidak sedikit pula diantara mereka yang pulang ke rumah untuk mengambil benda yang akan dilempar kedalam telaga.

Sejak itu, siapa saja anak negeri yang merasa ingin memberi tanda setia kepada negeri, melemparkan sebuah benda yang direlakan ke telaga beracun.
Telaga yang sudah tidak beracun itu, sekarang sudah tidak ada lagi, dimana tempat sebenarnya telaga itu mestilah kita telusuri keberadaannya.

0 komentar:

Post a Comment

 

Blogroll

Selamat Datang

Memberi motivasi lebih sulit dari pada memunculkannya, dan akan lebih sulit lagi memotivasi diri sendiri dari pada memotivasi orang lain. Munculkan motivasi dalam diri selama darah masih mengalir, jantung masih berdetak. Salam manis...

|-ShiJitSuKi-| Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template