“Dahulu kala, seribu tahun lampau, jauh sebelum orang banyak sampai ke wilayah ini, hiduplah seekor ketam. Ketam itu sangat besar dan kuat, lebarnya melebihi sepuluh kali lebar sungai di kampung kita dan panjangnya serupa benar dengan perjalanan dari Nipah Panjang menuju Sabak. Ketam itu berdiam di sebuah gunung batu, memiliki sepasang sepit dan sepuluh pasang kaki.”
“Selain ketam itu, hidup pula sepasang suami istri. Menurut cerita, merekalah manusia pertama yang menginjakkan kaki dan mendatangi daratan Tanjung Jabung Timur. Ada yang mengatakan mereka berasal dari Suku Melayu Tua. Sang suami bernama Utuh Perigi dan sang istri bernama Diyang Jayuni. Sehari-hari mereka memancing ikan di tepi laut dan membuat huma kecil di tepi gunung batu itu. Kehidupan mereka sebenarnya cukup bahagia. Setiap hari mereka tidak pernah kelaparan. Buah-buahan dan sayur-sayuran setiap saat dapat mereka petik karena bumi Tanjung Jabung Timur yang sangat subur. Tetapi satu hal yang selalu mengganggu pikiran mereka, terlebih sang suami, karena mereka belum dikaruniai seorang anak. Telah berganti tahun mereka bersama hingga sepuluh tahun usia perkawinan, apa yang mereka impikan tak jua didapat.”
“Pada suatu malam, sepasang suami istri itu mendengar suara yang sangat ramai dari luar rumah mereka, suara itu sangat gaduh dan membuat mereka terbangun dari tidur lelap.”
“Jayuni, kau dengar suara itu?”Utuh Perigi mengerakkan tubuh istrinya.
Terdengar lagi suara keras dan berderak. Rumah yang terbuat dari bambu itu bergetar akibatnya.
“Mungkin ada manusia lain di sini Bang, atau mungkin suara dewa.” Si istri mencoba menerka-nerka siapa pemiliki suara gaduh di luar itu. Ia lalu bangkit dari tidur, mengikuti sikap Utuh Perigi yang telah lebih dahulu mengambil posisi duduk dan bersiaga. Dengan mengendap-endap mereka berjalan menuju pintu.
Terkejutlah Utuh Perigi saat mereka melihat sosok ketam raksasa sedang berjalan di lereng gunung tempat mereka mendirikan rumah. Tangannya serta merta menarik pedang yang terselip di balik pintu. Utuh Perigi bukannya takut, dengan keberanian yang luar biasa ia keluar rumah dan berdiri di tanah lapang lalu berteriak lantang “Hei ketam raksasa, kalau kau berniat buruk dan ingin mengganggu kami datanglah ke sini, atau lebih baik enyahlah!”
Rupanya Utuh Perigi memiliki kesaktian yang sangat tinggi. Ketam raksasa menghentikan gerakannya lalu menatap pedang yang sudah dihunus oleh Utuh Perigi. Pedang itu mengeluarkan larik sinar merah. Suasana di sekitar kaki gunung menjadi panas seketika.
“Hei anak manusia, telah beribu tahun aku mendiami temapat ini, sejuta purnama telah aku saksiakan. Bahkan para dewa pun telah merestui aku bermukim di sini. Baru kali ini seorang anak manusia berani mengusikku. Sebelum aku merubah wujudmu menjadi abu, masih aku ijinkan engkau pergi dengan tenang. Cepatlah!” hardik ketam raksasa. Suaranya meggelegar dan membuat beberapa batang pohon besar di sana bertumbangan.
“Tidak akan aku tinggalkan tanah subur ini hai ketam batu, sebaiknya engkaulah yang pergi karena telah membuat istriku ketakutan, dan juga tempatmu bukan di sini, tapi di laut sana. Pergilah.” Jawab Utuh Perigi tak kalah sengit.
Ketam raksasa mengangkat sepitnya, kalimat yang dikeluarkan Utuh Perigi benar-benar membuatnya tersinggung. Dan perang pun tak dapat dihindari, utuh Perigi mengeluarkan segala kesaktiannya, ia terbang dari satu pohon ke pohon lain. Ketam raksasa terlihat siap menyepitkan sepitnya pada tubuh Utuh Perigi, tapi Utuh Perigi memang lincah dan sakti. Pertempuran berlangsung seru dan memakan waktu yang lama. Tidak terlihat tanda-tanda siapa yang bakal menjadi pemenang.
Hingga pada hari yang ke tiga puluh satu, Utuh Perigi mulai berada di atas angin dan pada satu kesempatan ia berhasil menyusup terbang ke arah mata ketam raksasa. Tinggal sedepa lagi sebelum ujung pedang Utuh Perigi menancap ke mata ketam batu raksasa, tiba-tiba ketam batu raksasa duduk bersimpuh dan memohon ampun.
“Ampun beribu ampun wahai anak manusia, saya mengaku kalah dan menyerahkan diri, apapun yang tuan inginkan akan saya penuhi asal jangan tuan tusuk mata saya.”
Utuh Perigi cukup ksatria. Melihat musuhnya sudah lemah dan tak berdaya, ia menghentikan serangannya.
“Baiklah, asal kau dapat memenuhi satu permintaan saya.” Utuh Perigi melemparkan syarat.
“Apapun yang tuan inginkan akan saya penuhi, katakanlah!” Sambut ketam raksasa.
“Tunjukkanlah jalan agar kami dapat memiliki anak.”
Mendengar permintaan Utuh Perigi, ketam raksasa tersenyum lalu menggerakkan sepitnya ke arah kepala sambil berkata “Itu pekerjaan yang mudah tuan, terimalah ini.” Ucap ketam raksasa sambil melepaskan sebuah mahkota, Utuh Perigi cepat-cepat menyimpannya di balik kantung celana.
“Bagaimana menggunakan mahkota bawang merah ini?” Tanya Utuh Perigi.
“Mulai hari ini letakkanlah mahkota ini di bawah bantal, setelah sembilan bulan, tuan akan melihat sendiri khasiatnya. Tapi harap iangat satu hal!” Ketam raksasa menghentikan ucapanya. Ditatapnya Utuh Perigi lekat-lekat, seperti ada yang diragukannya saat melihat Utuh Perigi.
“Apa itu?” Kejar Utuh Perigi tak sabar.
“Kembalikan mahkota itu kepada saya satu hari setelah istri tuan melahirkan. Lewat dari waktu itu, akan berbahaya bagi tuan dan tanah ini.” Jawab ketam raksasa memberi penjelasan.
“Baiklah, mahkota ini akan saya kembalikan pada waktunya.”
Setelah berkata, Utuh Perigi dan Istrinya segera meninggalkan ketam raksasa dan puing-puing sisa pertempuran mereka.
mengikuti langkah manusia. Hanya karena nafsu, manusia sering celaka. Demikian juga dengan Utuh Perigi, setelah menunggu sembilan bulan, istrinya Diyang Jayuni akhirnya melahirkan bayi yang selama ini mereka rindukan.
“Bang, aku ingin memiliki anak seorang lagi.” Diyang Jayuni berkata kepada Utuh Perigi.
Mendengar permintaan istrinya, Utuh Perigi menggelengkan kepala. “Tidak mungkin Diang, hari ini mahkota itu harus dikembalikan.”
“Kita tinggalkan saja tempat ini Bang, kita bawa serta mahkota itu.” Rengek Diyang Jayuni pada suaminya..
“Tidak mungkin Ding, akan terjadi bala jika mahkota ini tidak dikembalikan, bukankah kau mendengar sendiri ucapan ketam batu raksasa itu?” Jawab Utuh Perigi membantah keinginan istrinya.
“Bukankah Abang memiliki kesaktian yang tinggi. Kalau dia kembali memerahkan cepitnya, Abang bunuh saja dia.” Diyang Jayuni terus membujuk suaminya. Utuh Perigi terdiam sesaat. Tampaknya ia mulai bimbang.
“Ataukah kita pergi saja, Bang. Kabarnya di seberang laut sana tempat yang lebih bagus dan banyak pula manusianya. Tak mungkin ketam batu itu bisa ke sana.”
Utuh Perigi diam sebentar memikirkan saran sitrinya. Tak lama ia tersenyum dan menganggukkan kepala tanda ia setuju dengan rencana istrinya.
“Kalau begitu, bersegeralah kita pergi, aku buatkan tandu untukmu dan untuk anak kita.” Ucap Utuh Perigi selanjutnya dengan nada bergegas.
Akhirnya sepasang suami sitri itu segera bergerak membelah hutan di kaki gunung, meninggalkan tempat itu mengingat ancaman ketam raksasa yang mengatakan jika mahkota itu tidak dikembalikan maka akan terjadi bala di tanah tempat mereka berdiam.
Dengan menggunakan tandu dari bambu, sang suamipun menuruni lereng gunung untuk menyeberangi lautan bersama istri dan anaknya yang baru lahir.
ketam raksasa menunggu hari yang dijanjikan, namun hingga sore menjelang, mahkota itu tak juga dikembalikan. Sesudah matahari terbenam, sesuatu mulai melanda ketam raksasa.”
Tiba-tiba tubuh ketam raksasa tergetar hebat. Ia tidak dapat mengontrol kekuatan yang ada di dalam tubuhnya, sebab mahkota bawang itu adalah sumber kekuatan dirinya dan gunung temapt ia tingal. Semakin lama gerakan ketam itu semakin liar.
“Hei Utuh Perigi, kembalikan mahkotaku!!!” Menggelegar suara ketam raksasa menyebut nama Utuh Perigi yang telah membawa mahkotanya. Sementara bumi tempat ketam itu berada seperti dilanda gempa.
Gerakan ketam raksasa itu mulai tidak terkendali. Sepitnya bergerak ke arah angkasa. Hujan mendadak turun dengan derasnya. Suara halilintar menggelegar seiring ketam raksasa. Ketam itu marasakan tubuhnya diserang hawa panas luar biasa, tetapi masih dicobanya menahan dengan kemampuan yang ada. Namun sayang, gerakannya bertambah gila dan merubuhkan pohon-pohon. Batu-batu gunung beterbangan tiada henti. Karena siksaan hawa panas yang luar biasa mendera, ketam itu tiba-tiba mengangkat sepit kirinya ke angkasa, kemudian dihentakkannya kembali ke bumi. Akibat hentakan itu, bumi membentuk sebuah alur seperti sungai, sesudah itu kakinya yang lain pun terangkat tinggi, kemudian seperti semula dihentakkan kembali ke bumi dengan kuat yang membentuk alur sungai sebagaimana akibat hentakan sepitnya. Akibat semua gerakan itu, terbentuklah sepuluh aluran sungai besar, seiring dengan itu pula, tubuh ketam itu perlahan mengecil, matanya bersinar lemah, gunung tempat ia berdiam ikut pula mengecil. Ini terjadi hingga tubuh ketam itu tinggal sebesar tangal manusia, dan tinggi gunungnya tidak melebihi tinggi lutut manusia.
“Oh, jadi sepuluh sungai besar yang terbentuk akibat hentakan kaki dan spit ketam raksasa itukah yang kini menjadi sungai-sungai di Tanjung Jabung Timur, Tuk?” Havidz bertanya di saat Datuk Alai masih bercerita.
“Ya, sepuluh alur sungai itulah yang kini dihuni oleh penduduk Tanjung Jabung Timur. Mulai dari Sungai Pangkal Duri, Sungai Mendahara, Sungai Kampung Laut atau Kuala Batang Hari, Sungai Lambur, Sungai Simbur Naik, Sungai Pemusiran, Sungai Nipah Panjang, Sungai Sadu, Sungai Lokan, Sungai Air Hitam, hingga Sungai Benu
“Seperti sumpah yang diucapkan ketam raksasa itu, sepasang suami istri itu juga mengalami kematian. Saat ketam menancapkan sepitnya ke bumi, tubuh suami istri itu juga ikut terkubur.
0 komentar:
Post a Comment