BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna
yang tentunya sudah memiliki aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan
dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya
sendiri sebagai pedoman dalam pelaksanaannya.
Islam sebagai agama yang sempurna
memiliki hukum yang datang dari Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui
Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, yakni Al Qur’an Al Kariim. Kemudian sumber hukum
agama islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita kenal dengan Hadits. Al
Qur’an dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam
dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Namun, seiiring dengan
berkembangnya zaman ada saja hal-hal yang tidak terdapat solusinya dalam Al
Qur’an dan Hadits. Oleh karena, itu ada sumber hukum agama islam yang lain,
diantaranya Ijma dan Qiyas. Namun, Ijma dan Qiyas tetap merujuk pada Al Qur’an
dan Hadits karena Ijma dan Qiyas merupakan penjelasan dari keduanya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana
al-qur’an sebagai sumber hukum islam?
1.2.2
Bagaimana
sunnah sebagai sumber hukum islam?
1.2.3
Bagaimana
ijtihad sebagai sumber hukum islam?
1.2.4
Bagaimana
qiyas sebagai sumber hukum islam?
1.2.5
Bagaimana
ijma’ sebagai sumber hukum islam?
1.3 Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas MPK Agama. Manfaat dari penulisan makalah ini
adalah untuk memahami hukum-hukum ajaran islam, dan mempraktikkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
1.4 Metode Penulisan
Penyusun memakai metode studi
literatur dan kepustakaan dalam penulisan makalah ini. Referensi makalah ini
bersumber tidak hanya dari buku, juga dari media media lain seperti e-book,
web, blog, dan perangkat media massa yang diambil dari internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Al-Qur’an
Sebagai Sumber Hukum Islam
Sebelum
membahas lebih jauh tentang al-qur’an sebagai sumber hukum islam, mari kita
kaji terlebih dahulu pengertian dari al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an adalah
firman Allah s.w.t. yang di turunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara
berangsur-angsur melalui malaikat Jibril, sebagai mukjizat dan pedoman hidup
bagi umatnya dan membacanya adalah ibadah. Al-Qur’an ini turun pada sekitar
tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran nabi Muhammad s.a.w.
Telah
kita ketahui bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam dan merupakan
pedoman hidup yang abadi. Dikatakan abadi karena kemurniannya sejak diturunkan
sampai di akhir zaman senantiasa terpelihara. Allah s.w.t. menjamin pasti
kemurnian al-Qur’an, seperti dalam firmannya yang berarti “Sesungguhnya
kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar
menjaganya”(QS. Al-Hijr, 15:9).
Al-Qur’an
merupakan pedoman hidup yang pertama dan utama bagi umat islam. Pada masa
rasulullah s.a.w. setiap persoalan solusinya selalu di kembalikan kepada
al-Qur’an. Rasulullah sendiri dalam perilakunya sehari-hari selalu mengacu pada
al-Qur’an. Oleh karena itu kita sebagai seorang muslim kita harus menggunakan
al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
Sepeti
dalam firman-Nya yang berarti “Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah
s.w.t. dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu
mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfal,8:20). Ayat tersebut
mengandung dua perintah yang pertama adalah perintah untuk taat kepada allah,
taat berarti kita harus menjalankan smua perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangannya. Dan perintah-perintah Allah itu ada dalam al-Qur’an, jadi
kalau kita taat kepada Allah kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang ada
dalam al-Qur’an. Perintah yang kedua adalah taat kepada Rasulullah, artinya
kita harus taat kepada sunnah dan hadits-haditsnya. Baik perintah maupun
larangannya.
Fungsi
dari al-Qur’an itu sendiri ada 4 yaitu petunjuk, penjelas, pembeda dan obat.
Petunjuk artinya al-Qur’an merupakan suatu aturan yang harus diikuti, layaknya
sebuah papan jalan yang di temple pada jalan-jalan. Seseorang yang tidak
mengetahui jalan, jika ia mengabaikan petujuk jalan itu dan dan berjalan tidak
sesuai dengan petunjuknya sudah pastilah orang tersebut akan tersesat. Sama
seperti orang hidup di dunia ini, jika ia mengabaikan petunjuk dari Allah maka
pastilah jalannya akan tersesat.
Fungsi
yang kedua adalah penjelas artinya di dalam al-Qur’an sudah dijelaskan tentang
segala sesuatu yang ditanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya al-Qur’an harus
dijadikan rujukan dari semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia
tidak boleh membuat aturan sendiri tanpa ada dasar-dasarnya dari al-Qur’an.
Al-Qur’an
sebagai pembededa, maksudnya sebagai pembeda antara yang benar dan salah. Kita
bisa mengetahui suatu hal apakah itu benar atau salah dari al-Qur’an. Selain
itu juga pembeda antar muslim dan luar muslim, antar nilai yang diyakini benar
oleh orang mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufur.
Selanjutnya
fungsi al-Qur’an sebagai obat. Ibarat resep dari seorang dokter, pasien sering
sulit untuk membacanya bahkan memahaminya. Tetapi seorang pasien percaya bahwa
resep tersebut tidak mungkin salah karena dokter diyakini tidak mungkin
berbohong. Sama seperti halnya dengan al-qur’an, al-qur’an adalah resep yang
diberikan oleh Allah dan sudah pasti resep tersebut tidak mungkin salah karena
Allah maha besar. Dengan demikian tidak menjadi masalah apabila ada beberapa
ayat dalam al-Qur’an yang belum kita mengerti maksud dan tujuannya, maka
jalankan sajalah. Sebab kalau harus menunggu kita memahami semua maksudnya
bisa-bisa waktu kita di dunia ini habis terlebih dahulu sebelum kita
menjalankan semua perintah-perintah-Nya.
Selain
itu, obat yang diberikan oleh dokter tidak semuanya manis kadang ada yang pahit
dan manis. Tetapi dokter berpesan agar meminum obat tersebut dengan teratur dan
sampai habis, sebab kalau ridak teratur dan habis penyakitnya tidak sembuh. Begitupula
dengan al-Qur’an adalah obat, tidak semua perintah dalam al-Qur’an sesuai
dengan keinginan dan kemauan manusia, tetapi Allah menghendaki kita untuk
mengamalkan semua firmannya tanpa terkecuali. Tidak ada pemilihan dan pemilahan
ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan yang lain dibirkan.
2.2 Al-sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam
Dalam tradisi hukum Islam, hadits
berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi
para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan
Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula
perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka
namai dengan ”Sunnah”. Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum
yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa
sebelum kerasulannya.
Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber
hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal
atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, Al-Qur’an
membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali. Di
sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an
atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
2.2.1 Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum
Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa
Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara
lain sebagai berikut:
1.
Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20,
Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54,
al-Maidah: 92).
2.
Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13,
Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
3.
Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena
selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam
menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau
sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama.
2.2.2 Hubungan
Al-hadits/As-sunnah Dengan Al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi
sebagai penafsir, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu.
Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu
adalah sebagai berikut :
- Bayan
Tafsir: yaitu
menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti
hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni
ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah
merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat).
2. Bayan Taudhih: yaitu
menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi :
“Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu
yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an
dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang
yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka
gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”.
2.2.3 Dapatkah As-sunnah Berdiri
Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah
disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan
suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali
oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap
hal ini.
Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada
‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang
syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang
kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa
sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus
merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan
hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang
dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila
fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah
(penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan
penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber
dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah
cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus
menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan,
beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin
atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”
(An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya
dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38). Sebenarnya kedua pendapat itu tidak
mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda,
tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal
adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena
menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut
pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi
ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang
membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang
adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an
pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak
hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk
kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global.
Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang
pertama
2.2.4 Perbuatan Nabi Muhammad SAW
Berfungsi Sebagai Sumber Hukum
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi
umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri
tauladan dalam hidupnya. Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi
menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya
perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan
tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi
wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi
tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi
umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi
tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam
beberapa uraian berikut ini:
1.
Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya. Ada
beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah
pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila
dikerjakan. Contohnya antara lain:
a.
Puasa wishal adalah puasa yang tidak
berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya.
Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara
umatnya justru haram bila melakukannya.
b.
Boleh beristri lebih dari empat
wanita. Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri
dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW
seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.
2.
Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi
ummatnya. Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib
dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
a.
Shalat Dhuha’: Shalat dhuha’ yang
hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
b.
Qiyamullail: Demikian juga dengan
shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi kita tapi
wajib bagi Rasulullah SAW
c.
Bersiwak: Selain itu juga ada
kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya hanya
Sunnah saja.
d.
Bermusyawarah: Hukumnya wajib bagi
Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya
e.
Menyembelih kurban (udhhiyah): Hukumnya
wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
3.
Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi
ummatnya
a.
Menerima harta zakat, Semiskin
apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat. Demikian
juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
b.
Makan makanan yang berbau: Segala
jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau, seperti
bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya malakat
kepadanya untuk membawa wahyu. Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal,
setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih
halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW.
c.
Haram menikahi wanita ahlulkitab: Karena
isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi
beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi. Sedangkan
bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah
dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3.
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan
Nabi Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib
diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi
selalu terpuji dan benar, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan
tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat
baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil
contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam
sekalipun.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para
ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun
yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW. Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum
yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa
sebelum kerasulannya
2.3 Ijtihad
Sebagai Sumber Hukum Islam
Menurut
istilah, ijtihad berarti penggunaan rasion atau akal semaksimal mungkin guna menemukan
sesuatu ketetapan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara tegas dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah.
2.3.1 Kedudukan Ijtihad :
Ijtihad
menduduki posisi yang ketiga dalam hukum Islam setelah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam ijtihad ini timbullah sumber hukum lainnya yaitu ijma’(consensus ulama),
qiyas(analogi berdasarkan sebab atau illat masalah), urf(adat kebiasaan
setempat), maslahah mursalah(kepentingan umum), dan istihsan.Ijtihad dilakukan
oleh para imam, para kepala pemerintahan, para hakim, dan oleh para panglima
perang untuk menemukan solusi dari permasalahan yang berkembang di kalangan
mereka berdasarkan bidang mereka masing-masing.
2.3.2 Lapangan Ijtihad :
Sesuai
dengan namanya, ijtihad berarti mencari sesuatu yang tidak secara eksplisit
didapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, berarti mengartikan, menafsirkan, dan
mengambil kesimpulan dari kedua sumber tersebut, maka ijtihad terikat oleh
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
·
Ijtihad
tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Karena urusan ibadah
mahdhah telah diatur oleh al-Qur’an dan al-Hadist secara jelas dan terperinci.
·
Hasil
ketetapan ijtihad sifatnya kondisional dan situasional, mungkin berlaku bagi
seseorang tetapi tidak berlaku bagi oranng lain. Juga berlakunya kadangkala
hanya untuk satu masa atau tempat tertentu saja.
·
Keputusan
ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
·
Ketetapan
ijtihad tidak melahirkan keputusan yang absolute, tetapi sifatnya relative.
·
Dalam
proses berijtihad harus mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya aspek
lingkungan, aspek manfaat dan madharat atau akibat, aspek motivasi dan
nilai-nilai yang menjadi ciri khas ajaran Islam.
·
Ijtihad mencakup bidang mu’amalah (ihwal
ekonomi), jinayat (kriminalitas), siasat (politik), ahwal syakhshiyyah (ihwal
kekeluargaan), dan da’wah (misson), kedokteran, sains dan teknologi dan
sebagainya.
2.3.3 Syarat-syarat ijtihad :
Seseorang
yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa
persyaratan, diantaranya :
·
Memiliki
ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan
masalah hokum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayatuntuk menggali
hukum.
·
Memiliki
pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist yang berhubungan dengan masalah
hukum.
·
Menguasai
seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’ agar ia berijtihad
tidak bertentangan dengan ijma’.
·
Mengetahui
secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali
hukum.
·
Menguasai
bahasa arab secara mendalam. Sebab al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber asasi
hukum Islam tersusun dalam bahasa arab yang sangat tinggi gaya bahasanya.
·
Mengetahui
secara mendalam tentang nasikh-mansukh.
·
Mengetahui
tentang latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan hadist.
2.3.4 Peranan Ijtihad dalam
Perkembangan Masyarakat Islam :
Ijtihad
memiliki peranan penting dalam pembinaan hukum Islam; diantaranya :
1.
Agar
hukum Islam dapat ditetapkan secara fleksibel sehingga tidak kaku.
2.
Agar
dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman
3.
Dapat
memudahkan penerapan ajaran Islam menurut situasi dan kondisi yang ada
4.
Dapat
mengembangkan intelektualitas umat Islam sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
5.
Dapat
meningkatkan dinamika masyarakat Islam yang heterogen, namun senantiasa hidup
toleran dengan ukhuwah Islamiyah.
2.4 Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam
Qiyas menurut ulama ushul
adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits
dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash. Ada juga membuat definisi lain, qiyas adalah menyamakan sesuatu yang
tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya
persamaan illat hukum. Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi
terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan
melahirkan hukum yang sama pula. Umpamanya hukum meminum khamar , nash hukumnya
telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah
Swt: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.” (Qs.5:90) Haramnya meminum khamr yang berdasar illat
hukumnya adalah memabukkan. Maka setiap minuman yang memabukkan sama saja
dengan khamar dalam hukumnya, maka minuman tersebut adalah haram hukumnya untuk
dikonsumsi.
Berhubung
qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan
ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok
jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak
jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat sahabat maupun ijma ulama.
2. Mazhab
Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas.
Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui
sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan- alasannya guna menetapkan
suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat . Sebaliknya, mereka menetapkan
hukum hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok
yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena
persamaan illat . Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini
menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
Jumhur
ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk
sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat
hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian
ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah
hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i. Diantara ayat Al Qur’an yang
dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah: “Dia-lah yang
mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka
pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng- benteng mereka dapat mempertahankan
mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari
arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam
hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri
dan tangan orang- orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Qs.59:2)
Dari
ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil
pelajaran’ . Kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan
sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu
hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan.
Hal
yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan
qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui. “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.” (Qs.4:59) Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab
maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah
khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda- tanda
kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
Hal
ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas. Sementara
diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasarkan pada hadits Muadz ibn
Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh
Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena
qiyas merupakan salah satu macam ijtihad. Sedangkan dalil yang ketiga mengenai
qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan
kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang
mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa
qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan. Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu
kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan
pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari
syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak
maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya
pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil
yang keempat adalah dalil rasional. Pertama , bahwasanya Allah Swt
mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia
merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik
Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan
manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika
nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum agama. Karenanya qiyas merupakan
sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya
permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum
syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah
.
Qiyas
memiliki empat rukun, yaitu:
1. Asal
(pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis
alaihi.
2. Fara’
(cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula
al-maqîs .
3. Hukmu
al-asal , yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam nash dalam hukum asalnya. Yang
kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’ .
4. Illat,
adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun
atasnya.
2.5 Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam
2.5.1 Definisi Ijma’
Secara
Etimologi (Bahasa) Ijma’ berasal dari kata
“ajma’a”,“yujmi’u”,“ijma'an”
dengan isim maf’ul mujma yang memiliki dua makna :
1.
Ijma'
secara etimologi bisa bermakna tekad yang kuat
وَشُرَكَاءَكُمْ أَمْرَكُمْ
فَأَجْمِعُوا
“…Karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk
membinsakanku)…” (QS. Yunus : 71)
2. Ijma’
secara etimologi juga memiliki makna sepakat
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي
غَيَابَةِ الْجُبِّ
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya
ke dasar sumur” (QS. Yusuf : 15)
Adapun definisi secara istilah, para ulama
berbeda pendapat dalam menetapkan makna Ijma’ menurut arti istilah. Ini
dikarenakan perbedaan mereka dalam meletakkan kaidah dan syarat Ijma’. Namun
definisi Ijma’ yang paling mendekati kebenaran adalah kesepakatan para ulama
ahli ijtihad (mujtahid) dari kalangan umat Muhammad setelah wafatnya beliau
Shallallahu ’alaihi wa sallam pada masa tertentu akan suatu perkara agama.
2.5.2 Hakikat Ijma’
Seperti yang ditegaskan oleh Syakhul-Islam
Ibnu Tamiyah, Ijma’ ialah kesepakatan para ulama kaum muslimin atas hukum
tertentu. Bila Ijma’ telah diputuskan secara permanen atas suatu hukum, maka
tidak boleh bagi siapapun keluar dari keputusan Ijma’ tersebut, karena mustahil
umat islam sepakat dalam kesesatan. Tetapi boleh jadi, banyak masalah yang
diklaim berdasarkan Ijma’ ternyata tidak demikian, bahkan pendapat lain lebih
kuat dari Al-Qur’an dan As-sunnah. [Majmu’ Fatâwâ,
Ibnu Taimiyyah]
Ijma’ merupakan
dasar agama yang sah dan menjadi sumber hukum ketiga agama Islam setelah
Al-Qur’an dan Sunnah. Tidak terdapat ketetapan Ijma’ yang menentang kebenaran,
kecuali tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Maka suatu keutamaan bagi
para ulama ahli ijtihad untuk berijma’ berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.
Ibnu Hazm
rahimahumullah berkata, “Tidak ada ijma’ kecuali berdasarkan nash agama, baik
berasal dari ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maupun dari perbuatan
atau perilaku beliau.” [Al-Ihkam fî Ushulil-Ahkam, Ibnu Hazm]
2.5.3
Peran Ijma’ dalam Penetapan Hukum
Sebagian besar
ulama berpandangan, ijma’ memiliki bobot yang sangat kuat dalam menetapkan hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah setelah
Al-Qur’an dan Sunnah, karena ijma’ berdasarkan dalil syar’i baik secara eksplisit
maupun secara implisit. Bahkan sebagian besar ulama berpandangan, ijma’ wajib
diaplikasikan. Tidak sedikit pula
yang menolak ijma’ seperti kalangan Syi’ah dan Khawarij. Namun, itu tidak usah
dihiraukan, karena para ulama Islam telah sepakat menjadikan Ijma’ sebagai
salah satu pegangan selain Al-Qur’an dan Sunnah. Hal itu didasarkan pada :
1)
Ijma’ menurut
Al-Qur’an
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai…” [QS. Ali Imran : 103]
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia
ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [QS.
An-Nisa: 115]
2)
Ijma’ menurut As-Sunnah
Dari 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tetaplah bersama jamaah dan
waspadalah terhadap perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun
dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang menginginkan surga paling
tengah maka hendaklah bersama jamaah.” [Shahih, HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya]
Imam asy-Syafi’i rahimahullah
berkata: "Jika jamaah mereka
berpencar di setiap negara dan tidak ada yang mampu menyatukan badan mereka,
mereka tetap bisa membuahkan Ijma'. Namun sebaliknya, walaupun badan mereka
berkumpul dalam satu tempat, akan tetapi bercampur dengan berbagai kalangan,
baik dari kaum muslimin, kaum kuffar, orang-orang yang bertakwa maupun para
penjahat, maka tidak mempunyai arti apa-apa dan tidak mungkin membuahkan Ijma'.
Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan mengikuti jamaah mereka dalam
menetapkan perkara halal dan haram serta ketaatan. Barang siapa yang
berpendapat sama dengan pendapat jamaah kaum muslimin maka ia telah berada di
atas jamaah mereka. Dan barang siapa yang menyelisihi pendapat jamaah mereka
maka ia telah menyelisihi jamaah kaum muslimin". [Ar-Risalah, Imam
Asy-Syafi’i]
Berdasarkan
penjelasan di atas, terlihat bahwa Ijma’ bisa dikatakan sebagai salah satu
landsan hukum islam selain Al-Qur’an dan Sunnah. Namun isi dari Ijma’ itu
tersendiri harus didasari pada dalil-dalil syar’i, karena hakekatnya
sebaik-baiknya pedoman kita di akhir zaman seperti ini adalah Al-Qur’an dan
Sunnah.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Sebagai
umat islam, kita diwajibkan untuk mengetahui serta memperdalam sumber ajaran
agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena sumber ajaran agama islam
merupakan merupakan media penuntun agar kita dapat melaksanakan semua perintah
Allah dan semua larangan-Nya. Agama islam pun tidak mempersulit kita dalam
mempelajari seluk beluk agama islam. Karena terdapat tingkatan sumber ajaran
agama islam yang harus kita pedomani.
DAFTAR PUSTAKA
Mubarak, Zakky.2007.”Menjadi Cendikiawan Muslim”. Jakarta: PT Magenta
Bhakti Guna
0 komentar:
Post a Comment